Senin, Desember 19, 2016
Senin, Desember 05, 2016
Kamis, November 24, 2016
SUSUNAN PERKAWINAN MENURUT ADAT SEMENDE
1. Naikkah Rasan
2. Mutuskah Rasan
3. Nikah
4. Merbie
5. Nyulow
6. Nampunkah Kule
7. Bunting Tandang
8. Ngantat Bunting Balik/Bekhulang
9. Nguni,Nulung Njawat
10. Nulung Ngetam
11. Tandang,Udim Ngetam
12.Balik dari Tandang Udim Ngetam
Penjelasan poin demi poin sebagai berikut;
2. Mutuskah Rasan
3. Pernikahan
4. Merbie
5. Nyulow
6. Nampunkah Kule
7. Bunting Tandang
8. Ngantat Bunting Balik/Behulang
2. Mutuskah Rasan
3. Nikah
4. Merbie
5. Nyulow
6. Nampunkah Kule
7. Bunting Tandang
8. Ngantat Bunting Balik/Bekhulang
9. Nguni,Nulung Njawat
10. Nulung Ngetam
11. Tandang,Udim Ngetam
12.Balik dari Tandang Udim Ngetam
Penjelasan poin demi poin sebagai berikut;
1. Naikkah Rasan
Dua orang utusan dari pihak laki-laki datang
kerumah pihak perempuan sambil membawa SIGUH yang telah lengkap dengan
isinya terdiri dari sihih,gambie, pinang,kapuw sihih, & mbaku,rokok.
Setelah sampai di rumah pihak perempuan maka SIGUH tersebut diletakkan
sambil berbicara dengan kata2 kiasan, isi pembicaraan ingin meminang
anak gadis dirumah itu,kemudian di sambut oleh pihak perempuan,sambil
mengambil SIGUH lalu mengambil sirih lalu dimakan,
kalau sudah di ambil tandanye pinangan pihak laki-laki diterima. Selanjutnya pembicaraan diteruskan untuk memutuskan tanggal,bulan,tahun untuk memutuskah Rasan tersebut.
kalau sudah di ambil tandanye pinangan pihak laki-laki diterima. Selanjutnya pembicaraan diteruskan untuk memutuskan tanggal,bulan,tahun untuk memutuskah Rasan tersebut.
2. Mutuskah Rasan
Mutuskah rasan adalah menjadikan Rasan,setelah sampai waktu yang
dijanjikan untuk mutuskan rasan maka pihak perempuan NJUADAH, nyembelih
ayam untuk menyambut kedatangan pihak laki-laki. Pihak laki-laki datang
kerumah pihak perempuan sambil membawa SIGUH dan isinya serta membawa
tande rasan ade (jadi), misalnya kain bumpak atau kain songket,kemudian
di berikan kepada pihak perempuan. Dalam acara ini ditentukan waktu dan
tempat pernikahan akan dilangsungkan termasuk juga acara bagu’an bimbang
rami (resepsi) dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam.
Dalam acara pernikahan calon mepelai lai-laki yang di temani oleh
teman-temannya bujang,diiringi oleh utusan keluarganya pergi kerumah
pihak perempuan,dirumah perempuan tersebut telah berkumpul semua jurai
antara lain Payung Jurai, Jenang Jurai, Meraje, anak belai serta kaum
perwatin, Khatib, Penghulu. Selanjutnya petugas menikahkan kedua
pengantin tersebut sesuai aturan Agama, Adat yang berlaku.
4. Merbie
Pihak mepelai laki-laki membawa seekor kerbau atau sapi atau
kambing/domba sesuai kesepakatan dan kemampuan kerumah pihak perempuan.
Kegunaan nya untuk gulai/sayur pada hari nampunkah kule
(bagua’an/sedekah).
5. Nyulow
Setelah diterime Perbie tersebut oleh pihak perempuan, maka pihak
perempuan memberi satu tanpang (Loyang) Juadah, sepehiuk nasi dan
gulai,lalu di antar kerumah pihak laki-laki. Setelah diterima Penyulow
tersebut pihak bugae memanggil Payung Jurai, Jenang Jurai, Meraje untuk
makan bersama penyulow yang diantar pihak perempuan tadi.
6. Nampunkah Kule
Nampunkah kule ini semua keluarge dari pihak Ibu dan Ayah mepelai
laki-laki berkumpul di Rumah Tunggutubang mepelai tersebut, kemudian
Meraje dari Ibu dan Meraje dari Ayah mengumpulkan seluruh anak buahnya
untuk mendatangi rumah pihak perempuan,untuk makan ber sama-sama di
rumah pihak mempelai perempuan, di rumah pihak perempuan itu telah siap
untuk menerima Kule dari pihak laki-laki dan pada waktu itulah
mengadakan perubahan TUTUAN, (Panggilan).
Misalnya Ayah dan Ibu mepelai laki-laki memanggil Ayah dan Ibu
mepelai perempuan Adik, Ayah dan Ibu mepelai perempuan memanggil kepada
Ayah dan Ibu mepelai laki-laki Kakak. Maka selanjutnya kalau tutuan
mepelai laki memanggil Mamak, Uwak Ibung, sebaliknya mepelai perempuan
memanggil dengan sebutannya warang tetapi, kalau mepelai laki-laki
perempuan memanggil Bapang Tue, Bapang Kecik atau Endung Tue, Endung
Kecik, pengantin tersebut memanggil Beliau Banyak Bugae untuk panggilan
Ayah mertua, dan untuk panggilan Ibu mertua di panggil Beliu Banyak
Betine. Setelah pengatin tadi mempunyai keturunan maka panggilan tadi
berubah, pengantin laki-laki memanggil kepada mertua laki-laki menjadi
Kiyai. Sedangkan kepada mertua perempuan panggilan menjadi Niyai. Bagi
pengantin perempuan memanggil mertua laki-laki Pengiran, dan kepada
Mertua perempuan di panggil Tuan. tutuan ini harus di pakai dengan penuh
rasa tanggung jawab, guna untuk menjaga tutur kata maupun perbuatan
dalam kehidupan sehari-hari agar tercipta keharmunisan dalam
keluarga,istila dalam adat semende dikenal 3 BE
(Beresie,Besendi,Besundi) untuk uraian lengkap tentang 3 BE secara
lengkap akan di jelaskan dalam bagian berikutnya.
7. Bunting Tandang
Setelah selesai nampunkah Kule maka mepelai perempuan diantar kerumah
mempelai laki-laki yang ditemani oleh afit jurainya dengan diiringi
afit jurai, itu sambil membawa Ambinan, yang berisi; Bakul, Nihu, Tuku
dan lain sebagainya, disertai dengan Juadah delapan talam dan Nasi
beserta gulainya, pakaian lainnya untuk diserahkan kepada pihak
laki-laki.
Setelah semuanya selesai mengenal satu sama lainnya maka mepelai
perempuan dan mepelai laki-laki yang dipimpin oleh Meraje,sambil membawa
perabot rumah tangga secara lengkap atau menurut kemampuannya. Pada
waktu itulah Meraje dari pihak laki-laki menyerahkan mepelai laki-laki
dan mepelai perempuan kepada pihak mepelai perempuan.
9. Nguni/Nulung Njawat
Bersambung…Selasa, November 01, 2016
Selasa, Oktober 18, 2016
"ABDUL KHANI BIN CIK UNING" Selamat Jalan Ayah...! Semoga Bahagia di sana..!
Innalillahi Wa Innailaihi Roji'un
Telah berpulang ke Rahmatullah
Ayahanda Tercinta "ABDUL KHANI bin CIK UNING"
Jum'at 7 Oktober 2016, Jam 09:30 WIB di PULAU BERINGIN - OKU SELATAN
Semoga diterima amal kebaikan ayahanda, diampuni dosanya, diberikan nikma yang tiada terhingga
di alam barzahnya, aamiin...
Minggu, Oktober 02, 2016
Jumat, September 23, 2016
Senin, Agustus 01, 2016
Senin, Juli 11, 2016
Selasa, Juni 28, 2016
MALAM LAILATUL QADAR
MALAM LAILATUL QADAR
Oleh
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya
Al-Qur’an Al-Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya
ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi.
Umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak
memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak
panah untuk memperingati malam ini, akan tetapi mereka berloma-lomba
untuk bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala
dari Allah.
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur’aniyah dan hadits-hadits nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.
1. Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan
mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah
berfirman.
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا
لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ
أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar,
tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu ? Malam Lailatul Qadar
itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah
melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka
(untuk membawa) segala usrusan, selamatlah malam itu hingga terbit
fajar” [Al-Qadar : 1-5]
Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا
مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا ۚ
إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚ إِنَّهُ هُوَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi
dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu
dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar
dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar
lagi Maha Mengetahui” [Ad-Dukhan : 3-6]
2. Waktunya
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa malam
tersebut terjadi pada tanggal malam 21,23,25,27,29 dan akhir malam bulan
Ramadhan. [1]
Imam Syafi’i berkata : “Menurut pemahamanku. wallahu ‘alam, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika
ditanyakan kepada beliau : “Apakah kami mencarinya di malam ini?”,
beliau menjawab : “Carilah di malam tersebut” [2]
Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada
malam terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu
‘anha, dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf
di sepuluh hari terkahir bulan Ramadhan dan
beliau bersabda.
تَحَرَّوْا وفي رواية : الْتَمِسُوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ
“Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan” [3]
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai
terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, (dia
berkata) : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
الْتَمِسُوْ مَا فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُ كُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي
“Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya” [4]
Ini menafsirkan sabdanya.
أَرَى رُؤْيَا كُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّ هَا فيْ السَّبْعِ الأَوَاخِِرِ
“Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, barangsiapa yang mencarinya carilah pada tujuh hari terakhir” [5]
Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena
perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke luar pada malam
Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau
bersabda : “Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam
Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak bisa lagi
diketahui kapannya; mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di malam
29. 27. 25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan
dan lima)” [6]
Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar
itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan, di malam ganjil
sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedang hadits
kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus
lebih diutamakan dari pada yang umum, dan telah banyak hadits yang
lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari
terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan
lemah, tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits
tersebut tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah.
Kesimpulannya.
Jika seorang muslim mencari malam lailatul Qadar carilah pada malam
ganjil sepuluh hari terakhir : 21, 23,25,27 dan 29. Kalau lemah dan
tidak mampu mencari pada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam
ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25,27 dan 29.
Wallahu ‘alam
3. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar.?
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan
untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan
(baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang
yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh
karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat
ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan
penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar, jika (telah)
berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya
yang telah lalu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إَيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan
penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu” [7]
Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah
diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, (dia) berkata :
“Aku bertanya, “Ya Rasulullah ! Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam
Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan
?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah :
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku” [8]
Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu
untuk mentaati-Nya- engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam
Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan
shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya
dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada isterimu dan
keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma.
كَانَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ
الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَ أَحْيَ لَيْلَهُ، وَ اَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila masuk
pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencanngkan
kainnya [9] menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya” [10]
Juga dari Aisyah, (dia berkata) :
كَانَ رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِيغَيْرِهَا
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh
(beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak
pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya” [11]
4. Tanda-Tandanya
Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan Allah menguatkanmu degan
ruh dari-Nya dan membantu dengan pertolongan-Nya- sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan paginya malam
Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.
Dari ‘Ubay Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
صَبِيْحَةُ لَيْلَةِ الْقَدْرِ تَطْلُعُ الشَمسُ لاَ شعاع لَهَا، كَاَنَهَا طَشْتٌ حَتَّى تَرْتَفَعُ
“Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi” [12]
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul
Qadar di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda.
أَيُكُم يَذْكُرُ حِيْنَ طَلَعَ الْقَمَرُ، وَهُوَ مِشْلُ شِقِّ جَفْنَةٍ
“Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan seperti syiqi jafnah” [13]
Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata : Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “(Malam) Lailatul Qadar adalah
malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan)
keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah
kemerah-merahan” [14]
[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul
Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman
Mubarak Ata]
Senin, Juni 06, 2016
TIGA KUNCI SUKSES MENJADI ORANG BERTAKWA DIBULAN RAMADHAN
Oleh: Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, MA
Allâh Azza wa Jalla telah mewajibkan ibadah puasa bulan Ramadhan atas
umat Islam, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla juga telah mewajibkannya
atas umat-umat sebelumnya. Fakta ini membuktikan betapa ibadah puasa
sangat penting bagi kehidupan beragama setiap umat.
Karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan ibadah puasa atas kamu
sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu, agar kamu
menjadi orang-orang yang bertakwa. [Al Baqarah/2:183].
Telah sekian kali kita berpuasa Ramadhan, walau demikian hingga kini
nilai-nilai takwa dalam diri kita seakan tidak pernah bertambah. Padahal
pada ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla telah menegaskan bahwa dengan
berpuasa idealnya kita menjadi orang-orang yang
bertakwa. Mungkinkah ayat di atas tidak lagi relevan dengan kondisi
kehidupan umat manusia di zaman ini? Tentu sebagai seorang Muslim, kita
meyakini bahwa ayat-ayat al-Qur`ân senantiasa relevan dengan berbagai
perkembangan zaman hingga Hari Kiamat.
Hanya ada satu kemungkinan atau jawaban atas kondisi yang sedang terjadi
pada diri kita saat ini. Adanya kekurangan dan khilaf dalam menjalankan
ibadah puasa, sehingga nilai-nilai takwa kurang kita rasakan walaupun
kita telah berpuasa untuk sekian lamanya.
Fenomena yang ada pada diri kita ini sudah sepantasnya cepat-cepat kita
benahi, agar segera terjadi perubahan ke arah yang positif. Harapannya,
puasa bulan Ramadhan yang akan datang, semoga kita masih berkesempatan
mendapatkannya- kondisi kita telah berubah.
Sebatas renungan saya yang terbatas ini, ada tiga pelajaran penting yang
dapat kita petik dari ibadah puasa agar nilai-nilai takwa segera
terwujud dalam diri kita:
1. Puasa Adalah Media Training Center Bagi Pola Pikir Dan Perilaku Umat Islam.
Dalam kondisi haus dan lapar di siang hari selama bulan Ramadhan, seakan semua makanan dan minuman terasa lezat dan segar. Tak ayal lagi, bayangan menikmati lezat dan segarnya berbagai makanan mendorong kita untuk membuatnya dan membelinya. Bahkan sering kali kita hanyut dalam badai ambisi untuk menguasai semuanya seorang diri. Akibat dari sikap hanyut dalam badai ambisi ini, sering kali kita lupa daratan, sehingga membuat makanan melebihi dari kebutuhan.
Namun ketika matahari telah terbenam, hanya sedikit yang kita konsumsi
dan bahkan banyak dari makanan yang terlanjur dibuat atau dibeli tidak
tersentuh sama sekali.
Bahkan lebih parah dari itu, sebagian kita walaupun tetap bernafsu untuk
makan, hingga seluruh rongga perutnya penuh, namun tetap saja masih
tersisa hidangan yang melebihi apa yang telah ia konsumsi.
Perilaku semacam inilah salah satu faktor yang menjauhkan nilai-nilai
takwa dari diri kita. Andai selama bulan puasa kita meluangkan waktu
sedikit saja untuk memikirkan sikap yang benar dalam hal makan dan
minum, niscaya kita terhindar dari kondisi-kondisi
semacam yang diungkapkan di atas.
Untuk urusan makan dan minum, sejatinya yang benar-benar kita butuhkan
jauh dari yang selama ini kita makan. Dan tentunya jauh dari apa yang
selama ini kita olah atau kita beli. Buktinya, setiap hari kita membuang
atau paling kurang terpaksa menyingkirkan banyak
makanan hingga akhirnya rusak atau basi.
Andai kita semua mengindahkan teladan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam urusan makan dan minum, niscaya kita semua menjadi orang-orang
yang bertakwa. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرَّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْب ابْنِ آدَمَ
أُكُلَاتٌ يَقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ
لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Tidaklah ada kantung yang lebih buruk untuk engkau penuhi dibandingkan
perutmu sendiri. Sejatinya engkau cukup memakan beberapa suap makanan
yang dapat menegakkan tulang rusukmu. Andai engkau tetap ingin makan
lebih banyak, maka cukuplah engkau memenuhi sepertiga
perutmu dengan makanan, sepertiga lagi untuk minuman, dan sepertiga
sisanya untuk ruang pernafasanmu.” [HR. at-Tirmidzi dan lainnya].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa dalam urusan makan, kita dihadapkan kepada tiga hal:
1. Ambisi.
2. Kemampuan memakan atau memiliki.
3. Kebutuhan yang sejati.
2. Kemampuan memakan atau memiliki.
3. Kebutuhan yang sejati.
Hadits ini mengajarkan kepada kita agar dalam urusan makan dan minum
kita mengikuti standar kebutuhan dan tidak menuruti kemampuan apalagi
ambisi.
Untuk urusan kemampuan memakan, masing-masing perut kita memiliki daya
tampung yang berbeda-beda, dan masing-masing kita mampu untuk memenuhi
seluruh ruang perut kita. Namun, Anda juga sadar bahwa penuhnya ruang
perut Anda pastilah mendatangkan masalah, bahkan
menjadi ancaman tersendiri bagi kesehatan kita.
Demikan juga bila kita berbicara tentang ambisi, maka setiap dari kita
memiliki ambisi masing-masing. Dan saya yakin Anda sendiri juga tidak
memiliki batasan yang jelas apalagi menghentikan ambisi Anda terhadap
makanan lezat dan minuman enak.
Kalaupun Anda telah menikmati makanan dan minuman yang paling lezat,
namun tetap saja ambisi Anda terus melaju. Selama hayat masih di kandung
badan, Anda pasti masih berselera dan berambisi untuk menikmati makanan
dan minuman yang lezat. Hanya ada satu hal
yang dapat menghentikan ambisi kita, yaitu ajal alias kematian.
Kondisi serupa juga terjadi pada ambisi kita pada ambisi kita terhadap
berbagai kenikmatan dunia lainnya. Karena itu Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ ذَهَبٍ لَأَحَبَّ أَنْ يَكُوْنَ
لَهُ ثَالِثٌ وَلَا يَمْلَأُ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوْبُ اللهُ
عَلَى مَنْ تَابَ
“Andai manusia telah memiliki dua lembah emas, niscaya ia masih
berambisi untuk memiliki lembah ketiga. Dan tiada yang daat memenuhi
mulut (menghentikan ambisi) manusia selain tanah kuburannya. Sedangkan
Allâh senantiasa menerima taubat setiap orang yang sadar
dan kembali kepada-Nya.” [Muttafaqun ‘alaih dan at-Tirmidzi].
Setiap sore hari, selama bulan puasa, Anda senantiasa berhadapan dengan
ketiga hal di atas. Dan akhirnya sering kali Anda terpaksa berhenti pada
batas kebutuhan Anda. Betapa tidak, setelah Anda meneguk segelas air
sekejap, ambisi Anda dan kemampuan Anda seakan
sirna. Ternyata segelas minuman mampu menjadikan Anda berpikir dengan
jernih tentang makanan dan minuman. Sejatinya, makanan yang Anda
butuhkan jauh lebih sedikit dari yang mampu Anda sajikan, apalagi dari
yang Anda bayangkan.
Andai pelajaran penting ini benar-benar Anda hayati dan terapkan dalam
hidup Anda, niscaya Anda menjadi orang yang bertakwa. Dengan semangat
puasa ini, Anda mampu membedakan antara kemampuan dan kebenaran.
Ternyata dalam hidup di dunia ini, kita semua dituntut
untuk membedakan antara kebenaran dengan kemampuan apalagi ambisi.
Tidak semua yang kuasa kita lakukan kemudian kita lakukan. Sebagai orang
yang bertakwa, kita berpikir jernih dalam setiap kondisi sehingga
senantiasa bersikap dengan benar dan berguna dalam
setiap kondisi.
Pendek kata, dengan semangat puasa kita senantiasa sanggup mengontrol
ucapan dan perbuatan kita. Anda senantiasa menimbang ucapan dan
perbuatan Anda, walaupun dalam kondisi sulit, semisal ketika emosi Anda
dipancing atau harga diri Anda dinodai orang lain.
Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan arahan kepada umatnya melalui hadits qudsi berikut:
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا
يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ
إِنِّيْ امْرَؤٌ صَائِمٌ
“Ibadah puasa adalah sebuah perisai, sehingga bila engkau sedang
berpuasa hendaknya engkau menghindari perbuatan keji, dan
berteriak-teriak. Bila ada seseorang yang mencelamu, atau memusuhimu,
hendaknya engkau (menahan diri dan) berkata kepadanya, “Sesungguhnya
aku orang yang sedang berpuasa”. [Muttafaqun ‘alaih].
Andai pengalaman-pengalaman yang terulang setiap kali berbuka puasa ini
Anda terapkan pada setiap aspek kebutuhan Anda di dunia ini, niscaya
Anda menjadi orang yang benar-benar bertakwa. Namun, apa boleh dikata
bila ternyata selama ini pelajaran berharga ini
selalu berlalu begitu saja, dan bahkan sering kali Anda keluhkan untuk
kemudian Anda lupakan. Wallâhul Musta’ân.
2. Berpuasa Hanya Di Siang Hari.
Seluruh umat Islam di berbagai belahan bumi sepakat bahwa puasa dalam Islam hanya dijalankan pada siang hari. Sedangkan pada malam hari, umat Islam masih tetap bebas untuk makan dan minum. Hal ini selaras dengan firman Allâh Azza wa Jalla berikut:
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan
Allâh untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam. [Al-Baqarah/2:187]
Ketentuan berpuasa pada siang hari sepanjang sejarah Islam tidak pernah
ada yang menggugatnya. Padahal zaman telah berkembang, dan tuntutan
perkembangan zaman semakin kompleks. Walau demikian, tetap saja umat
Islam sepakat bahwa puasa dalam Islam hanya bisa
dijalankan pada siang hari, sedangkan pada malam hari semuanya berhenti
dari berpuasa. Semua umat Islam dalam urusan ini menerima dan patuh
sepenuhnya dengan ketentuan yang diajarkan dalam al- Qur`ân dan Sunnah,
tanpa ada rasa keberatan sedikit pun. Sebagaimana
puasa wajib hanya dijalankan di bulan Ramadhan, dan pada hari pertama
bulan Syawal seluruh umat Islam merayakan Idul Fitri dengan menikmati
makanan dan minuman alias berhenti dari berpuasa.
Maha Besar Allâh Azza wa Jalla yang telah menjadikan berhenti dari makan
dan minum di bulan Ramadhan sebagai ibadah dan sebaliknya menjadikan
makan dan minum sebagai ibadah pada hari raya. Adanya perbedaan hukum
makan dan minum ini menjadi bukti dan pelajaran
penting bagi umat Islam agar dalam hidup terlebih dalam urusan ibadah
sepenuhnya berserah diri dan patuh kepada tuntunan syariat Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Karena itu salah satu indikator ibadah puasa yang baik adalah dengan
menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan sahur. Salah satu hikmah
dari ketentuan ini ialah untuk semakin mengukuhkan arti kepatuhan kepada
perintah Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n .
Ketika fajar telah terbit seketika itu pula Anda berhenti dari makan
dan minum, walaupun Anda masih berselera untuk makan atau minum.
Sebaliknya, ketika matahari terbenam, saat itu pula Anda berhenti puasa,
walau Anda masih kuat dan mungkin merasa lebih mantap
atau hebat bila meneruskan puasa hingga malam. Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ
Umat Islam akan senantiasa berjaya selama mereka menyegerakan buka puasa mereka. [Muttafaqun ‘alaih].
Ibadah puasa Ramadhan seyogyanya menumbuhkan kesadaran untuk patuh
sepenuhnya dengan syariat Allâh dalam segala aspek kehidupan kita. Hanya
dengan cara inilah nilai-nilai takwa yang sejati dapat terwujud dalam
diri Anda. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ
وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ
وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada
Allâh dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) diantara mereka
ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.[An-Nûr/24:51]
3. Berpuasa Hanya Karena Allâh Azza Wa Jalla .
Ibadah puasa dengan menahan lapar dan haus semakin membuktikan betapa besar karunia Allâh Azza wa Jalla kepada umat manusia yang telah memberikan rezki makanan dan minuman. Nikmat Allâh Azza wa Jalla berupa makanan dan minuman semakin terasa nikmat di bulan Ramadhan, sehingga wajar bila bisnis kuliner di bulan Ramadhan laris manis.
Namun senikmat apapun makanan yang Anda miliki dan sesegar apapun
minuman yang ada di hadapan anda, semuanya Anda tinggalkan sejak
terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Anda melakukan itu semua bukan karena sedang sakit, atau tidak mampu
membelinya atau telah bosan mengkonsumsinya. Semua itu Anda lakukan
hanya keran mengharapkan pahala dari Allâh Azza wa Jalla . Inilah
satu-satunya semangat dan motivasi Anda dalam menjalankan
ibadah puasa, sebagaimana ditegaskan dalam hadits qudsi berikut:
قَالَ اللهُ : “كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِي بِهِ “.
Allah berfirman, “Seluruh amalan anak manusia adalah miliknya, kecuali
puasa. Sejatinya puasa adalah milik-Ku, dan hanya Aku yang mengetahui
balasannya”. [Muttafaqun ‘alaih].
Demikianlah seharusnya kita bersikap selama hidup di dunia. Semua
aktifitas kita, baik ucapan atau perbuatan ditujukan hanya untuk Allâh
Azza wa Jalla :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا
أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: “Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk
Allâh, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allâh)”. [Al-An’âm/6:162-163].
Anda menyadari bahwa segala bentuk keuntungan dunia hanyalah semu dan
sesaat lagi pastilah Anda tinggalkan. Sebagaimana Anda juga beriman
bahwa segala manfaat dan mudharat ada di Tangan Allâh Azza wa Jalla .
Kesadaran ini menjadikan Anda pupus pamrih dari selain
Allâh Azza wa Jalla.
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ
لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا ﴿١﴾ الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي
الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
Maha Suci Allâh yang telah menurunkan al-Furqân (al-Qur`ân) kepada
hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam, yang
kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai
anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan
(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya..” [Al-Furqân/25:1-2].
Pada saat yang sama, Anda juga beriman sepenuhnya bahwa keberadaan Anda
di dunia ini untuk mengabdikan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Hanya
dengan pengabdian kepada Allâh Azza wa Jalla inilah hidup Anda menjadi
berarti. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴿٥٦﴾مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan
Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
[Adz-Dzâriyât/51:56-57]
Andai ketiga hal di atas benar-benar Anda aplikasikan dalam hidup anda,
niscaya Anda menjadi orang yang bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla.
Semoga Allâh Azza wa Jalla membenahi kondisi kita, dan memberikan
kesempatan untuk menikmati indahnya puasa bulan Ramadhan
di masa-masa yang akan datang, Âmîn. Wallâhu Ta’ala A’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVIII/1435H/2014.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Jumat, Juni 03, 2016
MARHABAN YA RAMADHAN
Arti dan Makna MARHABAN YA RAMADHAN.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata "marhaban" diartikan sebagai "kata seru untuk menyambut
atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang)." Ia sama dengan
ahlan wa sahlan yang juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat
datang."
Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan "marhaban ya Ramadhan".
Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga", sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah. Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki di) dataran rendah yang mudah."
Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau "lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan "marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti "ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan; tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.
Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah SWT
Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT Demikian kurang lebih perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.
Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.
Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan "marhaban ya Ramadhan".
Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga", sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah. Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki di) dataran rendah yang mudah."
Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau "lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan "marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti "ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan; tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.
Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah SWT
Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT Demikian kurang lebih perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.
Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.
sumber:
http://muhammadmawhiburrahman.blogspot.com/2013/06/arti-dan-makna-marhaban-ya-ramadhan.html
Minggu, Mei 08, 2016
Langganan:
Postingan (Atom)
Assalamu'alaikum. Wr.Wb.
Waktu akan dipertanggungjawabkan
Frofilku
Total Tayangan Halaman
Entri Populer
-
Perpustakaan adalah ruang atau tempat yang menyediakan berbagai koleksi yang disediakan untuk penggunanya. Perpustakaan pada umumnya merupak...
-
Beberapa tahun ini ada upaya untuk memperbarui proses belajar-mengajar dengan menyediakan papan tulis pintar yang terintegrasi dengan kemaju...
-
Tanaman kopi bukan tanaman asli Indonesia, melainkan jenis tanaman berasal dari benua Afrika. Tanaman kopi dibawa ke pulau Jawa pada tahun 1...
-
1. Sumber Informasi Primer Status suatu perpustakaan/pusat informasi secara dominan menentukan jenis-jenis informasi yang dikelolanya, terut...
-
Untuk mempelajari fenomena administrasi negara, terdapat berbagai pendekatan, antara lain: 1.Pendekatan yang sistematis dilakukan melalui hu...
-
Tips melestarikan buku, kertas, dan foto: (1) Jangan menggunakan tape atau lem untuk memperbaiki dokumen. Umumnya lem atau tape yang peka te...
-
PROFIL ILO 1. Sejarah ILO ILO didirikan tahun 1919, sebagai bagian dari Perjanjian Versailles yang mengakhiri Perang Dunia I, untuk men...
-
Perpustakaan merupakan salah satu lembaga yang menyediakan , mengelola dan melayankan informasi. Dengan perannya ini, perpustakaan perlu did...