Oleh: Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, MA
Allâh Azza wa Jalla telah mewajibkan ibadah puasa bulan Ramadhan atas
umat Islam, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla juga telah mewajibkannya
atas umat-umat sebelumnya. Fakta ini membuktikan betapa ibadah puasa
sangat penting bagi kehidupan beragama setiap umat.
Karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan ibadah puasa atas kamu
sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu, agar kamu
menjadi orang-orang yang bertakwa. [Al Baqarah/2:183].
Telah sekian kali kita berpuasa Ramadhan, walau demikian hingga kini
nilai-nilai takwa dalam diri kita seakan tidak pernah bertambah. Padahal
pada ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla telah menegaskan bahwa dengan
berpuasa idealnya kita menjadi orang-orang yang
bertakwa. Mungkinkah ayat di atas tidak lagi relevan dengan kondisi
kehidupan umat manusia di zaman ini? Tentu sebagai seorang Muslim, kita
meyakini bahwa ayat-ayat al-Qur`ân senantiasa relevan dengan berbagai
perkembangan zaman hingga Hari Kiamat.
Hanya ada satu kemungkinan atau jawaban atas kondisi yang sedang terjadi
pada diri kita saat ini. Adanya kekurangan dan khilaf dalam menjalankan
ibadah puasa, sehingga nilai-nilai takwa kurang kita rasakan walaupun
kita telah berpuasa untuk sekian lamanya.
Fenomena yang ada pada diri kita ini sudah sepantasnya cepat-cepat kita
benahi, agar segera terjadi perubahan ke arah yang positif. Harapannya,
puasa bulan Ramadhan yang akan datang, semoga kita masih berkesempatan
mendapatkannya- kondisi kita telah berubah.
Sebatas renungan saya yang terbatas ini, ada tiga pelajaran penting yang
dapat kita petik dari ibadah puasa agar nilai-nilai takwa segera
terwujud dalam diri kita:
1. Puasa Adalah Media Training Center Bagi Pola Pikir Dan Perilaku Umat Islam.
Dalam kondisi haus dan lapar di siang hari selama bulan Ramadhan, seakan semua makanan dan minuman terasa lezat dan segar. Tak ayal lagi, bayangan menikmati lezat dan segarnya berbagai makanan mendorong kita untuk membuatnya dan membelinya. Bahkan sering kali kita hanyut dalam badai ambisi untuk menguasai semuanya seorang diri. Akibat dari sikap hanyut dalam badai ambisi ini, sering kali kita lupa daratan, sehingga membuat makanan melebihi dari kebutuhan.
Namun ketika matahari telah terbenam, hanya sedikit yang kita konsumsi
dan bahkan banyak dari makanan yang terlanjur dibuat atau dibeli tidak
tersentuh sama sekali.
Bahkan lebih parah dari itu, sebagian kita walaupun tetap bernafsu untuk
makan, hingga seluruh rongga perutnya penuh, namun tetap saja masih
tersisa hidangan yang melebihi apa yang telah ia konsumsi.
Perilaku semacam inilah salah satu faktor yang menjauhkan nilai-nilai
takwa dari diri kita. Andai selama bulan puasa kita meluangkan waktu
sedikit saja untuk memikirkan sikap yang benar dalam hal makan dan
minum, niscaya kita terhindar dari kondisi-kondisi
semacam yang diungkapkan di atas.
Untuk urusan makan dan minum, sejatinya yang benar-benar kita butuhkan
jauh dari yang selama ini kita makan. Dan tentunya jauh dari apa yang
selama ini kita olah atau kita beli. Buktinya, setiap hari kita membuang
atau paling kurang terpaksa menyingkirkan banyak
makanan hingga akhirnya rusak atau basi.
Andai kita semua mengindahkan teladan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam urusan makan dan minum, niscaya kita semua menjadi orang-orang
yang bertakwa. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرَّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْب ابْنِ آدَمَ
أُكُلَاتٌ يَقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ
لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Tidaklah ada kantung yang lebih buruk untuk engkau penuhi dibandingkan
perutmu sendiri. Sejatinya engkau cukup memakan beberapa suap makanan
yang dapat menegakkan tulang rusukmu. Andai engkau tetap ingin makan
lebih banyak, maka cukuplah engkau memenuhi sepertiga
perutmu dengan makanan, sepertiga lagi untuk minuman, dan sepertiga
sisanya untuk ruang pernafasanmu.” [HR. at-Tirmidzi dan lainnya].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa dalam urusan makan, kita dihadapkan kepada tiga hal:
1. Ambisi.
2. Kemampuan memakan atau memiliki.
3. Kebutuhan yang sejati.
2. Kemampuan memakan atau memiliki.
3. Kebutuhan yang sejati.
Hadits ini mengajarkan kepada kita agar dalam urusan makan dan minum
kita mengikuti standar kebutuhan dan tidak menuruti kemampuan apalagi
ambisi.
Untuk urusan kemampuan memakan, masing-masing perut kita memiliki daya
tampung yang berbeda-beda, dan masing-masing kita mampu untuk memenuhi
seluruh ruang perut kita. Namun, Anda juga sadar bahwa penuhnya ruang
perut Anda pastilah mendatangkan masalah, bahkan
menjadi ancaman tersendiri bagi kesehatan kita.
Demikan juga bila kita berbicara tentang ambisi, maka setiap dari kita
memiliki ambisi masing-masing. Dan saya yakin Anda sendiri juga tidak
memiliki batasan yang jelas apalagi menghentikan ambisi Anda terhadap
makanan lezat dan minuman enak.
Kalaupun Anda telah menikmati makanan dan minuman yang paling lezat,
namun tetap saja ambisi Anda terus melaju. Selama hayat masih di kandung
badan, Anda pasti masih berselera dan berambisi untuk menikmati makanan
dan minuman yang lezat. Hanya ada satu hal
yang dapat menghentikan ambisi kita, yaitu ajal alias kematian.
Kondisi serupa juga terjadi pada ambisi kita pada ambisi kita terhadap
berbagai kenikmatan dunia lainnya. Karena itu Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ ذَهَبٍ لَأَحَبَّ أَنْ يَكُوْنَ
لَهُ ثَالِثٌ وَلَا يَمْلَأُ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوْبُ اللهُ
عَلَى مَنْ تَابَ
“Andai manusia telah memiliki dua lembah emas, niscaya ia masih
berambisi untuk memiliki lembah ketiga. Dan tiada yang daat memenuhi
mulut (menghentikan ambisi) manusia selain tanah kuburannya. Sedangkan
Allâh senantiasa menerima taubat setiap orang yang sadar
dan kembali kepada-Nya.” [Muttafaqun ‘alaih dan at-Tirmidzi].
Setiap sore hari, selama bulan puasa, Anda senantiasa berhadapan dengan
ketiga hal di atas. Dan akhirnya sering kali Anda terpaksa berhenti pada
batas kebutuhan Anda. Betapa tidak, setelah Anda meneguk segelas air
sekejap, ambisi Anda dan kemampuan Anda seakan
sirna. Ternyata segelas minuman mampu menjadikan Anda berpikir dengan
jernih tentang makanan dan minuman. Sejatinya, makanan yang Anda
butuhkan jauh lebih sedikit dari yang mampu Anda sajikan, apalagi dari
yang Anda bayangkan.
Andai pelajaran penting ini benar-benar Anda hayati dan terapkan dalam
hidup Anda, niscaya Anda menjadi orang yang bertakwa. Dengan semangat
puasa ini, Anda mampu membedakan antara kemampuan dan kebenaran.
Ternyata dalam hidup di dunia ini, kita semua dituntut
untuk membedakan antara kebenaran dengan kemampuan apalagi ambisi.
Tidak semua yang kuasa kita lakukan kemudian kita lakukan. Sebagai orang
yang bertakwa, kita berpikir jernih dalam setiap kondisi sehingga
senantiasa bersikap dengan benar dan berguna dalam
setiap kondisi.
Pendek kata, dengan semangat puasa kita senantiasa sanggup mengontrol
ucapan dan perbuatan kita. Anda senantiasa menimbang ucapan dan
perbuatan Anda, walaupun dalam kondisi sulit, semisal ketika emosi Anda
dipancing atau harga diri Anda dinodai orang lain.
Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan arahan kepada umatnya melalui hadits qudsi berikut:
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا
يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ
إِنِّيْ امْرَؤٌ صَائِمٌ
“Ibadah puasa adalah sebuah perisai, sehingga bila engkau sedang
berpuasa hendaknya engkau menghindari perbuatan keji, dan
berteriak-teriak. Bila ada seseorang yang mencelamu, atau memusuhimu,
hendaknya engkau (menahan diri dan) berkata kepadanya, “Sesungguhnya
aku orang yang sedang berpuasa”. [Muttafaqun ‘alaih].
Andai pengalaman-pengalaman yang terulang setiap kali berbuka puasa ini
Anda terapkan pada setiap aspek kebutuhan Anda di dunia ini, niscaya
Anda menjadi orang yang benar-benar bertakwa. Namun, apa boleh dikata
bila ternyata selama ini pelajaran berharga ini
selalu berlalu begitu saja, dan bahkan sering kali Anda keluhkan untuk
kemudian Anda lupakan. Wallâhul Musta’ân.
2. Berpuasa Hanya Di Siang Hari.
Seluruh umat Islam di berbagai belahan bumi sepakat bahwa puasa dalam Islam hanya dijalankan pada siang hari. Sedangkan pada malam hari, umat Islam masih tetap bebas untuk makan dan minum. Hal ini selaras dengan firman Allâh Azza wa Jalla berikut:
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan
Allâh untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam. [Al-Baqarah/2:187]
Ketentuan berpuasa pada siang hari sepanjang sejarah Islam tidak pernah
ada yang menggugatnya. Padahal zaman telah berkembang, dan tuntutan
perkembangan zaman semakin kompleks. Walau demikian, tetap saja umat
Islam sepakat bahwa puasa dalam Islam hanya bisa
dijalankan pada siang hari, sedangkan pada malam hari semuanya berhenti
dari berpuasa. Semua umat Islam dalam urusan ini menerima dan patuh
sepenuhnya dengan ketentuan yang diajarkan dalam al- Qur`ân dan Sunnah,
tanpa ada rasa keberatan sedikit pun. Sebagaimana
puasa wajib hanya dijalankan di bulan Ramadhan, dan pada hari pertama
bulan Syawal seluruh umat Islam merayakan Idul Fitri dengan menikmati
makanan dan minuman alias berhenti dari berpuasa.
Maha Besar Allâh Azza wa Jalla yang telah menjadikan berhenti dari makan
dan minum di bulan Ramadhan sebagai ibadah dan sebaliknya menjadikan
makan dan minum sebagai ibadah pada hari raya. Adanya perbedaan hukum
makan dan minum ini menjadi bukti dan pelajaran
penting bagi umat Islam agar dalam hidup terlebih dalam urusan ibadah
sepenuhnya berserah diri dan patuh kepada tuntunan syariat Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Karena itu salah satu indikator ibadah puasa yang baik adalah dengan
menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan sahur. Salah satu hikmah
dari ketentuan ini ialah untuk semakin mengukuhkan arti kepatuhan kepada
perintah Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n .
Ketika fajar telah terbit seketika itu pula Anda berhenti dari makan
dan minum, walaupun Anda masih berselera untuk makan atau minum.
Sebaliknya, ketika matahari terbenam, saat itu pula Anda berhenti puasa,
walau Anda masih kuat dan mungkin merasa lebih mantap
atau hebat bila meneruskan puasa hingga malam. Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ
Umat Islam akan senantiasa berjaya selama mereka menyegerakan buka puasa mereka. [Muttafaqun ‘alaih].
Ibadah puasa Ramadhan seyogyanya menumbuhkan kesadaran untuk patuh
sepenuhnya dengan syariat Allâh dalam segala aspek kehidupan kita. Hanya
dengan cara inilah nilai-nilai takwa yang sejati dapat terwujud dalam
diri Anda. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ
وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ
وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada
Allâh dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) diantara mereka
ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.[An-Nûr/24:51]
3. Berpuasa Hanya Karena Allâh Azza Wa Jalla .
Ibadah puasa dengan menahan lapar dan haus semakin membuktikan betapa besar karunia Allâh Azza wa Jalla kepada umat manusia yang telah memberikan rezki makanan dan minuman. Nikmat Allâh Azza wa Jalla berupa makanan dan minuman semakin terasa nikmat di bulan Ramadhan, sehingga wajar bila bisnis kuliner di bulan Ramadhan laris manis.
Namun senikmat apapun makanan yang Anda miliki dan sesegar apapun
minuman yang ada di hadapan anda, semuanya Anda tinggalkan sejak
terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Anda melakukan itu semua bukan karena sedang sakit, atau tidak mampu
membelinya atau telah bosan mengkonsumsinya. Semua itu Anda lakukan
hanya keran mengharapkan pahala dari Allâh Azza wa Jalla . Inilah
satu-satunya semangat dan motivasi Anda dalam menjalankan
ibadah puasa, sebagaimana ditegaskan dalam hadits qudsi berikut:
قَالَ اللهُ : “كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِي بِهِ “.
Allah berfirman, “Seluruh amalan anak manusia adalah miliknya, kecuali
puasa. Sejatinya puasa adalah milik-Ku, dan hanya Aku yang mengetahui
balasannya”. [Muttafaqun ‘alaih].
Demikianlah seharusnya kita bersikap selama hidup di dunia. Semua
aktifitas kita, baik ucapan atau perbuatan ditujukan hanya untuk Allâh
Azza wa Jalla :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا
أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: “Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk
Allâh, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allâh)”. [Al-An’âm/6:162-163].
Anda menyadari bahwa segala bentuk keuntungan dunia hanyalah semu dan
sesaat lagi pastilah Anda tinggalkan. Sebagaimana Anda juga beriman
bahwa segala manfaat dan mudharat ada di Tangan Allâh Azza wa Jalla .
Kesadaran ini menjadikan Anda pupus pamrih dari selain
Allâh Azza wa Jalla.
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ
لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا ﴿١﴾ الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي
الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
Maha Suci Allâh yang telah menurunkan al-Furqân (al-Qur`ân) kepada
hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam, yang
kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai
anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan
(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya..” [Al-Furqân/25:1-2].
Pada saat yang sama, Anda juga beriman sepenuhnya bahwa keberadaan Anda
di dunia ini untuk mengabdikan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Hanya
dengan pengabdian kepada Allâh Azza wa Jalla inilah hidup Anda menjadi
berarti. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴿٥٦﴾مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan
Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
[Adz-Dzâriyât/51:56-57]
Andai ketiga hal di atas benar-benar Anda aplikasikan dalam hidup anda,
niscaya Anda menjadi orang yang bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla.
Semoga Allâh Azza wa Jalla membenahi kondisi kita, dan memberikan
kesempatan untuk menikmati indahnya puasa bulan Ramadhan
di masa-masa yang akan datang, Âmîn. Wallâhu Ta’ala A’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVIII/1435H/2014.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar