Powered By Blogger

SELAMAT DATANG di Blog Putera Pulau Beringin

Semoga Bermanfaat..!

Selasa, Juni 28, 2016

MALAM LAILATUL QADAR

MALAM LAILATUL QADAR
 
Oleh
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur’an Al-Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini, akan tetapi mereka berloma-lomba untuk bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.

Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur’aniyah dan hadits-hadits nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.

1. Keutamaan Malam Lailatul Qadar
 
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman.

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu ? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala usrusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar” [Al-Qadar : 1-5]

Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا ۚ إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” [Ad-Dukhan : 3-6]

2. Waktunya
 
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa malam tersebut terjadi pada tanggal malam 21,23,25,27,29 dan akhir malam bulan Ramadhan. [1]

Imam Syafi’i berkata : “Menurut pemahamanku. wallahu ‘alam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : “Apakah kami mencarinya di malam ini?”, beliau menjawab : “Carilah di malam tersebut” [2]

Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada malam terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadhan dan beliau bersabda.

تَحَرَّوْا وفي رواية : الْتَمِسُوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ

“Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan” [3]

Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, (dia berkata) : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

الْتَمِسُوْ مَا فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُ كُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي

“Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya” [4]

Ini menafsirkan sabdanya.

أَرَى رُؤْيَا كُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّ هَا فيْ السَّبْعِ الأَوَاخِِرِ

“Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, barangsiapa yang mencarinya carilah pada tujuh hari terakhir” [5]

Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke luar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda : “Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak bisa lagi diketahui kapannya; mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di malam 29. 27. 25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan dan lima)” [6]

Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan, di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan dari pada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits tersebut tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah.

Kesimpulannya.
Jika seorang muslim mencari malam lailatul Qadar carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir : 21, 23,25,27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari pada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25,27 dan 29. Wallahu ‘alam

3. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar.?
 
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إَيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” [7]

Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, (dia) berkata : “Aku bertanya, “Ya Rasulullah ! Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah :

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku” [8]

Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya- engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada isterimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma.

كَانَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَ أَحْيَ لَيْلَهُ، وَ اَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencanngkan kainnya [9] menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya” [10]

Juga dari Aisyah, (dia berkata) :

كَانَ رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِيغَيْرِهَا

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya” [11]

4. Tanda-Tandanya
 
Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan Allah menguatkanmu degan ruh dari-Nya dan membantu dengan pertolongan-Nya- sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.

Dari ‘Ubay Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

صَبِيْحَةُ لَيْلَةِ الْقَدْرِ تَطْلُعُ الشَمسُ لاَ شعاع لَهَا، كَاَنَهَا طَشْتٌ حَتَّى تَرْتَفَعُ

“Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi” [12]

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda.

أَيُكُم يَذْكُرُ حِيْنَ طَلَعَ الْقَمَرُ، وَهُوَ مِشْلُ شِقِّ جَفْنَةٍ

“Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan seperti syiqi jafnah” [13]

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “(Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan” [14]

[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]

Senin, Juni 06, 2016

TIGA KUNCI SUKSES MENJADI ORANG BERTAKWA DIBULAN RAMADHAN

Oleh: Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, MA
Allâh Azza wa Jalla telah mewajibkan ibadah puasa bulan Ramadhan atas umat Islam, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla juga telah mewajibkannya atas umat-umat sebelumnya. Fakta ini membuktikan betapa ibadah puasa sangat penting bagi kehidupan beragama setiap umat. Karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan ibadah puasa atas kamu sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu, agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa. [Al Baqarah/2:183].
Telah sekian kali kita berpuasa Ramadhan, walau demikian hingga kini nilai-nilai takwa dalam diri kita seakan tidak pernah bertambah. Padahal pada ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla telah menegaskan bahwa dengan berpuasa idealnya kita menjadi orang-orang yang bertakwa. Mungkinkah ayat di atas tidak lagi relevan dengan kondisi kehidupan umat manusia di zaman ini? Tentu sebagai seorang Muslim, kita meyakini bahwa ayat-ayat al-Qur`ân senantiasa relevan dengan berbagai perkembangan zaman hingga Hari Kiamat.
Hanya ada satu kemungkinan atau jawaban atas kondisi yang sedang terjadi pada diri kita saat ini. Adanya kekurangan dan khilaf dalam menjalankan ibadah puasa, sehingga nilai-nilai takwa kurang kita rasakan walaupun kita telah berpuasa untuk sekian lamanya.
Fenomena yang ada pada diri kita ini sudah sepantasnya cepat-cepat kita benahi, agar segera terjadi perubahan ke arah yang positif. Harapannya, puasa bulan Ramadhan yang akan datang, semoga kita masih berkesempatan mendapatkannya- kondisi kita telah berubah.
Sebatas renungan saya yang terbatas ini, ada tiga pelajaran penting yang dapat kita petik dari ibadah puasa agar nilai-nilai takwa segera terwujud dalam diri kita:
1. Puasa Adalah Media Training Center Bagi Pola Pikir Dan Perilaku Umat Islam.

Dalam kondisi haus dan lapar di siang hari selama bulan Ramadhan, seakan semua makanan dan minuman terasa lezat dan segar. Tak ayal lagi, bayangan menikmati lezat dan segarnya berbagai makanan mendorong kita untuk membuatnya dan membelinya. Bahkan sering kali kita hanyut dalam badai ambisi untuk menguasai semuanya seorang diri. Akibat dari sikap hanyut dalam badai ambisi ini, sering kali kita lupa daratan, sehingga membuat makanan melebihi dari kebutuhan.
Namun ketika matahari telah terbenam, hanya sedikit yang kita konsumsi dan bahkan banyak dari makanan yang terlanjur dibuat atau dibeli tidak tersentuh sama sekali.
Bahkan lebih parah dari itu, sebagian kita walaupun tetap bernafsu untuk makan, hingga seluruh rongga perutnya penuh, namun tetap saja masih tersisa hidangan yang melebihi apa yang telah ia konsumsi.
Perilaku semacam inilah salah satu faktor yang menjauhkan nilai-nilai takwa dari diri kita. Andai selama bulan puasa kita meluangkan waktu sedikit saja untuk memikirkan sikap yang benar dalam hal makan dan minum, niscaya kita terhindar dari kondisi-kondisi semacam yang diungkapkan di atas.
Untuk urusan makan dan minum, sejatinya yang benar-benar kita butuhkan jauh dari yang selama ini kita makan. Dan tentunya jauh dari apa yang selama ini kita olah atau kita beli. Buktinya, setiap hari kita membuang atau paling kurang terpaksa menyingkirkan banyak makanan hingga akhirnya rusak atau basi.
Andai kita semua mengindahkan teladan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam urusan makan dan minum, niscaya kita semua menjadi orang-orang yang bertakwa. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرَّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْب ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يَقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Tidaklah ada kantung yang lebih buruk untuk engkau penuhi dibandingkan perutmu sendiri. Sejatinya engkau cukup memakan beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang rusukmu. Andai engkau tetap ingin makan lebih banyak, maka cukuplah engkau memenuhi sepertiga perutmu dengan makanan, sepertiga lagi untuk minuman, dan sepertiga sisanya untuk ruang pernafasanmu.” [HR. at-Tirmidzi dan lainnya].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa dalam urusan makan, kita dihadapkan kepada tiga hal:
1. Ambisi.
2. Kemampuan memakan atau memiliki.
3. Kebutuhan yang sejati.
Hadits ini mengajarkan kepada kita agar dalam urusan makan dan minum kita mengikuti standar kebutuhan dan tidak menuruti kemampuan apalagi ambisi.
Untuk urusan kemampuan memakan, masing-masing perut kita memiliki daya tampung yang berbeda-beda, dan masing-masing kita mampu untuk memenuhi seluruh ruang perut kita. Namun, Anda juga sadar bahwa penuhnya ruang perut Anda pastilah mendatangkan masalah, bahkan menjadi ancaman tersendiri bagi kesehatan kita.
Demikan juga bila kita berbicara tentang ambisi, maka setiap dari kita memiliki ambisi masing-masing. Dan saya yakin Anda sendiri juga tidak memiliki batasan yang jelas apalagi menghentikan ambisi Anda terhadap makanan lezat dan minuman enak.
Kalaupun Anda telah menikmati makanan dan minuman yang paling lezat, namun tetap saja ambisi Anda terus melaju. Selama hayat masih di kandung badan, Anda pasti masih berselera dan berambisi untuk menikmati makanan dan minuman yang lezat. Hanya ada satu hal yang dapat menghentikan ambisi kita, yaitu ajal alias kematian.
Kondisi serupa juga terjadi pada ambisi kita pada ambisi kita terhadap berbagai kenikmatan dunia lainnya. Karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ ذَهَبٍ لَأَحَبَّ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ ثَالِثٌ وَلَا يَمْلَأُ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوْبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Andai manusia telah memiliki dua lembah emas, niscaya ia masih berambisi untuk memiliki lembah ketiga. Dan tiada yang daat memenuhi mulut (menghentikan ambisi) manusia selain tanah kuburannya. Sedangkan Allâh senantiasa menerima taubat setiap orang yang sadar dan kembali kepada-Nya.” [Muttafaqun ‘alaih dan at-Tirmidzi].
Setiap sore hari, selama bulan puasa, Anda senantiasa berhadapan dengan ketiga hal di atas. Dan akhirnya sering kali Anda terpaksa berhenti pada batas kebutuhan Anda. Betapa tidak, setelah Anda meneguk segelas air sekejap, ambisi Anda dan kemampuan Anda seakan sirna. Ternyata segelas minuman mampu menjadikan Anda berpikir dengan jernih tentang makanan dan minuman. Sejatinya, makanan yang Anda butuhkan jauh lebih sedikit dari yang mampu Anda sajikan, apalagi dari yang Anda bayangkan.
Andai pelajaran penting ini benar-benar Anda hayati dan terapkan dalam hidup Anda, niscaya Anda menjadi orang yang bertakwa. Dengan semangat puasa ini, Anda mampu membedakan antara kemampuan dan kebenaran. Ternyata dalam hidup di dunia ini, kita semua dituntut untuk membedakan antara kebenaran dengan kemampuan apalagi ambisi. Tidak semua yang kuasa kita lakukan kemudian kita lakukan. Sebagai orang yang bertakwa, kita berpikir jernih dalam setiap kondisi sehingga senantiasa bersikap dengan benar dan berguna dalam setiap kondisi.
Pendek kata, dengan semangat puasa kita senantiasa sanggup mengontrol ucapan dan perbuatan kita. Anda senantiasa menimbang ucapan dan perbuatan Anda, walaupun dalam kondisi sulit, semisal ketika emosi Anda dipancing atau harga diri Anda dinodai orang lain.
Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan arahan kepada umatnya melalui hadits qudsi berikut:
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّيْ امْرَؤٌ صَائِمٌ
“Ibadah puasa adalah sebuah perisai, sehingga bila engkau sedang berpuasa hendaknya engkau menghindari perbuatan keji, dan berteriak-teriak. Bila ada seseorang yang mencelamu, atau memusuhimu, hendaknya engkau (menahan diri dan) berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku orang yang sedang berpuasa”. [Muttafaqun ‘alaih].
Andai pengalaman-pengalaman yang terulang setiap kali berbuka puasa ini Anda terapkan pada setiap aspek kebutuhan Anda di dunia ini, niscaya Anda menjadi orang yang benar-benar bertakwa. Namun, apa boleh dikata bila ternyata selama ini pelajaran berharga ini selalu berlalu begitu saja, dan bahkan sering kali Anda keluhkan untuk kemudian Anda lupakan. Wallâhul Musta’ân.
2. Berpuasa Hanya Di Siang Hari.
 
Seluruh umat Islam di berbagai belahan bumi sepakat bahwa puasa dalam Islam hanya dijalankan pada siang hari. Sedangkan pada malam hari, umat Islam masih tetap bebas untuk makan dan minum. Hal ini selaras dengan firman Allâh Azza wa Jalla berikut:
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allâh untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. [Al-Baqarah/2:187]
Ketentuan berpuasa pada siang hari sepanjang sejarah Islam tidak pernah ada yang menggugatnya. Padahal zaman telah berkembang, dan tuntutan perkembangan zaman semakin kompleks. Walau demikian, tetap saja umat Islam sepakat bahwa puasa dalam Islam hanya bisa dijalankan pada siang hari, sedangkan pada malam hari semuanya berhenti dari berpuasa. Semua umat Islam dalam urusan ini menerima dan patuh sepenuhnya dengan ketentuan yang diajarkan dalam al- Qur`ân dan Sunnah, tanpa ada rasa keberatan sedikit pun. Sebagaimana puasa wajib hanya dijalankan di bulan Ramadhan, dan pada hari pertama bulan Syawal seluruh umat Islam merayakan Idul Fitri dengan menikmati makanan dan minuman alias berhenti dari berpuasa.
Maha Besar Allâh Azza wa Jalla yang telah menjadikan berhenti dari makan dan minum di bulan Ramadhan sebagai ibadah dan sebaliknya menjadikan makan dan minum sebagai ibadah pada hari raya. Adanya perbedaan hukum makan dan minum ini menjadi bukti dan pelajaran penting bagi umat Islam agar dalam hidup terlebih dalam urusan ibadah sepenuhnya berserah diri dan patuh kepada tuntunan syariat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Karena itu salah satu indikator ibadah puasa yang baik adalah dengan menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan sahur. Salah satu hikmah dari ketentuan ini ialah untuk semakin mengukuhkan arti kepatuhan kepada perintah Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n . Ketika fajar telah terbit seketika itu pula Anda berhenti dari makan dan minum, walaupun Anda masih berselera untuk makan atau minum. Sebaliknya, ketika matahari terbenam, saat itu pula Anda berhenti puasa, walau Anda masih kuat dan mungkin merasa lebih mantap atau hebat bila meneruskan puasa hingga malam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ
Umat Islam akan senantiasa berjaya selama mereka menyegerakan buka puasa mereka. [Muttafaqun ‘alaih].
Ibadah puasa Ramadhan seyogyanya menumbuhkan kesadaran untuk patuh sepenuhnya dengan syariat Allâh dalam segala aspek kehidupan kita. Hanya dengan cara inilah nilai-nilai takwa yang sejati dapat terwujud dalam diri Anda. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allâh dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.[An-Nûr/24:51]
3. Berpuasa Hanya Karena Allâh Azza Wa Jalla .

Ibadah puasa dengan menahan lapar dan haus semakin membuktikan betapa besar karunia Allâh Azza wa Jalla kepada umat manusia yang telah memberikan rezki makanan dan minuman. Nikmat Allâh Azza wa Jalla berupa makanan dan minuman semakin terasa nikmat di bulan Ramadhan, sehingga wajar bila bisnis kuliner di bulan Ramadhan laris manis.
Namun senikmat apapun makanan yang Anda miliki dan sesegar apapun minuman yang ada di hadapan anda, semuanya Anda tinggalkan sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Anda melakukan itu semua bukan karena sedang sakit, atau tidak mampu membelinya atau telah bosan mengkonsumsinya. Semua itu Anda lakukan hanya keran mengharapkan pahala dari Allâh Azza wa Jalla . Inilah satu-satunya semangat dan motivasi Anda dalam menjalankan ibadah puasa, sebagaimana ditegaskan dalam hadits qudsi berikut:
قَالَ اللهُ : “كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِي بِهِ “.
Allah berfirman, “Seluruh amalan anak manusia adalah miliknya, kecuali puasa. Sejatinya puasa adalah milik-Ku, dan hanya Aku yang mengetahui balasannya”. [Muttafaqun ‘alaih].
Demikianlah seharusnya kita bersikap selama hidup di dunia. Semua aktifitas kita, baik ucapan atau perbuatan ditujukan hanya untuk Allâh Azza wa Jalla :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: “Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allâh, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)”. [Al-An’âm/6:162-163].
Anda menyadari bahwa segala bentuk keuntungan dunia hanyalah semu dan sesaat lagi pastilah Anda tinggalkan. Sebagaimana Anda juga beriman bahwa segala manfaat dan mudharat ada di Tangan Allâh Azza wa Jalla . Kesadaran ini menjadikan Anda pupus pamrih dari selain Allâh Azza wa Jalla.
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا ﴿١﴾ الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
Maha Suci Allâh yang telah menurunkan al-Furqân (al-Qur`ân) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam, yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya..” [Al-Furqân/25:1-2].
Pada saat yang sama, Anda juga beriman sepenuhnya bahwa keberadaan Anda di dunia ini untuk mengabdikan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Hanya dengan pengabdian kepada Allâh Azza wa Jalla inilah hidup Anda menjadi berarti. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴿٥٦﴾مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. [Adz-Dzâriyât/51:56-57]
Andai ketiga hal di atas benar-benar Anda aplikasikan dalam hidup anda, niscaya Anda menjadi orang yang bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla. Semoga Allâh Azza wa Jalla membenahi kondisi kita, dan memberikan kesempatan untuk menikmati indahnya puasa bulan Ramadhan di masa-masa yang akan datang, Âmîn. Wallâhu Ta’ala A’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVIII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Jumat, Juni 03, 2016

MARHABAN YA RAMADHAN

Arti dan Makna MARHABAN YA RAMADHAN.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban" diartikan sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."

Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan "marhaban ya Ramadhan".

Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga", sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah. Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki di) dataran rendah yang mudah."

Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau "lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan "marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti "ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan; tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.
Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah SWT

Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT Demikian kurang lebih perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.

Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya. 

sumber: 
 http://muhammadmawhiburrahman.blogspot.com/2013/06/arti-dan-makna-marhaban-ya-ramadhan.html


 

Assalamu'alaikum. Wr.Wb.

Waktu akan dipertanggungjawabkan

Frofilku

Foto saya
Palembang, Indonesia
MOTTO: "Hidup Adalah Perjuangan"

Total Tayangan Halaman

Entri Populer