Powered By Blogger

SELAMAT DATANG di Blog Putera Pulau Beringin

Semoga Bermanfaat..!

Jumat, November 16, 2018

Memahami Macam-macam Takdir

4 Macam Takdir

Para ulama menjelaskan ada empat macam takdir, yaitu:
1) Takdir Azali
2) Takdir ‘umri
3) Takdir Sanawi
4) Takdir Yaumi.
Berikut penjelasannya:

1) Takdir Azali

Yaitu takdir yang ditulis dalam lauhil mahfudz 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Takdir azali ini adalah takdir yang merupakan takdir utama yang pasti terjadi bagi semua mahkluk.


Allah berfirman,
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”. (Al-Hajj/22 : 70)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ، قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ، بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، قَالَ: وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
“Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. “Beliau bersabda, “Dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air.” (HR. Muslim)

2) Takdir ‘umri

Yaitu takdir yang ditulis malaikat ketika meniupkan roh ke dalam janin.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُوْنُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ فِيْ ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ، فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama mpat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti itu pula (empat puluh hari), kemudian menjadi segumpal daging seperti itu pula, kemudian Dia mengutus seorang Malaikat untuk meniupkan ruh padanya, dan diperintahkan (untuk menulis) dengan empat kalimat: untuk menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagia(nya).” (HR. Bukhari Muslim)


3) Takdir Sanawi

Takdir yang berlaku tahunan dan ditulis kejadian setahun ke depan setiap malam lailatul qadar.
Allah berfirman,
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [Ad-Dukhaan/44 : 4]
Allah juga berfirman,
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Pada malam itu turun para Malaikat dan juga Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadr/97 : 4-5]

4) Takdir Yaumi

Yaitu takdir yang berlaku harian.
Allah Ta’ala berfirman,
كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
“Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” [Ar-Rahmaan/55 : 29]
Perlu diperhatikan bahwa di antara empat takdir ini, takdir utamanya adalah takdir azali yang tertulis di lauhil mahfudz, sedangkan tiga takdir yang lainnya (‘umri, sanawi, dan yaumi) adalah takdir yang bisa merubah. Perhatikan kalimat berikut:
“Perubahan takdir (‘umri, sanawi dan yaumi) ini tertulis dalam takdir azali di lauhil mahfudz.”
Contohnya: bisa saja dalam takdir ‘umri tertulis dia seorang yang celaka, tetapi karena dia bersungguh-sungguh mencari hidayah, maka ia menjadi orang yang beruntung. Perubahan takdir ‘umri ini tertulis dalam lauhil mahfudz.


Ini juga yang dimaksud dengan “takdir bisa dirubah dengan doa”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻻ ﻳﺮﺩ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﺇﻻ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ
“Tidaklah merubah suatu takdir melainkan doa.” [HR. Al Hakim, hasan]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa takdir yang berubah tersebut berkaitan dengan doa, beliau berkata:
الدعاء من أسباب رد القدر المعلق ، والقدر يكون معلقا ويكون مبتوتا ، فإذا كان قدرا معلقا
“Doa termasuk sebab merubah takdir yang mu’allaq (bergantung pada sebabnya). Takdir itu ada yang mu’allaq dan ada yg telah tetap, sama sekali tidak berubah.” [https://binbaz.org.sa/old/38112]
Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa perubahan takdir dan doa tersebut juga tertulis dalam takdir azali lauhil mahfudz. Beliau berkata:
لكنه في الحقيقة لا يرد القضاء؛ لأن الأصل أن الدعاء مكتوب وأن الشفاء سيكون بهذا الدعاء، هذا هو القدر الأصلي الذي كتب في الأزل
“Pada hakikatnya takdir (azali) tidak berubah, karena doa tersebut sudah tertulis (dilauhil mahfudz) bahwa kesembuhan karena adanya doa, inilah takdir asli yang tertulis dalam takdir azali.” [Majmu’ Fatawa wa Rasail 2/93]

Sumber:
https://muslim.or.id/43701-memahami-macam-macam-takdir.html

Fatwa Ulama: Perayaan Maulid Nabi Adalah Masalah Khilafiyah?

Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr
Soal :
Apakah merayakan maulid Nabi termasuk masalah khilafiyah (yang diperselisihkan) di antara para ulama?
Jawab :
Tidak ada dalil yang menyatakan boleh merayakan kelahiran Nabi –shallallahu’alaihi wa sallam– . Karena selama tiga abad pertama hijriyah (masa keemasan Islam) tidak ditemukan perayaan ini. Perayaan ini muncul setelah masa itu. Maka ini menunjukkan perayaan ini termasuk perkara baru dalam Islam. Tidak ada sahabat, tabi’in, tabiuttabi’in yang merayakannya. Ini bukti bahwa perkara ini adalah perkara yang baru dalam agama. Seandainya boleh tentu sudah dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, para Khulafaur rasyidin, sahabat, tabi’in dan tabiuttabi’in. Akan tetapi hal ini tidak didapati pada masa tiga generasi pertama. Ini perkara baru.
Barangkali ada yang beralasan dengan perbuatan orang-orang Nasrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa dan kaum muslimin tentu lebih berhak untuk merayakannya, ini dalil tidak benar. Yang diperbincangkan adalah selama tiga generasi pertama Islam, tidak didapati perayaan maulid Nabi. Ini menunjukkan bahwa hal ini menyelisihi prinsip mereka yang hidup di tiga abad pertama masa keemasan. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
خير النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku ( para sahabat) kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya (tabiu’t tabi’in)” (HR.. Bukhari & Muslim).
Tidak semua perbedaan pendapat para ulama itu bisa diambil (khilaf mu’tabar), dan tidak setiap pendapat memiliki dalil yang kuat. Mereka yang membolehkan perayaan maulid Nabi berdalil dengan perbuatan kaum Nasrani. Mereka menyatakan bahwa kaum Nashrani merayakan kelahiran Nabi Isa karena mereka cinta, mengapa kita tidak merayakan kelahiran Nabi kita karena cinta kepada beliau? Namun nyatanya para khulafaur rasyidin tidak merayakan, para sahabat tidak merayakan, para tabi’in dan tabiut tabi’in juga tidak merayakan. Maka ini adalah termasuk perkara baru dalam agama, yang tidak ditemui di tiga generasi pertama. Perayaan ini baru muncul pada abad ke 4 hijriyah.
(Selesai, terhenti oleh iqomah sholat Isya).
Fatwa ini beliau sampaikan pada sesi tanya jawab kajian Shahih Bukhori, pada 10 Rabiulawwal 1438 H, di masjid Nabawi.
Anda bisa menyimaknya di sini :
https://drive.google.com/file/d/0Bx_gQF8gz7hoWHEzQld6S0xKMlk/view?usp=docslist_api
  
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/29081-fatwa-ulama-perayaan-maulid-nabi-adalah-masalah-khilafiyah.html

Minggu, November 11, 2018

LAKNAT PARA MALAIKAT BAGI SEORANG ISTRI YANG MENOLAK AJAKAN SUAMINYA UNTUK BERJIMA’

LAKNAT PARA MALAIKAT BAGI SEORANG ISTRI YANG MENOLAK AJAKAN SUAMINYA  UNTUK BERJIMA’

 Oleh
Syaikh Dr Fadhl Ilahi


Dan di antara orang yang dilaknat oleh para Malaikat adalah seorang istri yang menolak ajakan suaminya untuk berjima’. Di antara dalil yang menunjukan hal tersebut adalah:
Pertama: Asy-Syaikhain meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ. 
Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas      ranjangnya[1], tetapi ia tidak mematuhinya, maka para Malaikat akan melaknatnya sampai pagi.”[2]
Kedua: Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah pula Radhiyallahu anhu, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.
Jika seorang wanita tidur dengan meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para Malaikat melaknatnya sampai pagi.”[3]
Dan di dalam riwayat yang lain:
حَتَّى تَرْجِعَ.
Sehingga si istri itu kembali.[4]
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam menjelaskan hadits ini berkata, “Ini adalah sebuah dalil yang menunjukkan haram bagi seorang istri menolak ajakan suaminya ke atas ranjang (untuk berjima’) jika tidak ada alasan secara syara, dan haidh pun bukanlah alasan untuk menolaknya, karena sang suami dalam keadaan seperti ini dapat beristimta(menikmatinya) dengan sesuatu yang di atas kain penutup bagian bawah dari badan.[5]
Di antara faidah yang terkandung di dalam kedua hadits ini adalah:
  1. Sesungguhnya laknat –sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi– berlangsung sampai kemaksiatan itu hilang dengan terbit fajar dan rasa tidak membutuhkan dari pihak suami, atau dengan taubat dan kembalinya sang istri dengan memenuhi keinginan sang suami.[6]
  2. Al-Imam Abu Hamzah mengungkapkan faidah lain dari hadits ini, beliau rahimahullah berkata, “Di dalamnya ada sebuah dalil bahwa do‘a Malaikat, yang baik atau yang buruk adalah sebuah do‘a yang diterima, karena di dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mengancam dengan hal tersebut.”[7]
Ada hadits lain lagi yang menunjukkan sikap seperti ini, di antaranya adalah:
Pertama: Al-Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
ثَلاَثٌ لاَ تُقْبَلُ لَهُمْ صَلاَةٌ، وَلاَ تُصْعَدُ لَهُمْ إِلَى اللهِ حَسَنَةٌ: السَّكْرَانُ حَتَّى يُصْحَى، وَالْمَرْأَةُ السَّاخِطُ عَلَيْهَا زَوْجُهَا، وَالْعَبْدُ اْلآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ فَيَضَعُ يَدَهُ فِي يَدِ مَوَالِيْهِ.
Ada tiga orang yang shalatnya tidak akan diterima, dan kebaikan mereka tidak akan naik kepada Allah, (1) orang yang mabuk sehingga dia sadar, (2) seorang wanita yang dibenci oleh suaminya, dan (3) seorang hamba sahaya yang lari sehingga dia kembali dan meletakkan tangannya di tangan tuannya.”[8]
KeduaAl-Imam ath-Thabrani meriwayatkan juga dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
اِثْنَانِ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا: عَبْدٌ آبِقٌ مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْهِمْ، وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ.
“Ada dua orang yang shalat mereka tidak pernah melewati kepala mereka: (1) seorang hamba sahaya yang lari dari tuan-tuannya sehingga ia kembali kepada mereka, dan (2) seorang wanita yang berbuat maksiat kepada suaminya sehingga ia kembali.”[9]
Perhatian!
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan masalah ini:
Pertama, penetapan hukum haram bagi istri yang menolak keinginan suami ke atas ranjang (untuk berjima’) disyaratkan dengan tidak ada alasan secara syar’i, hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi[10] karena itu seorang suami harus selalu memperhatikan keadaan sang istri ketika ia memintanya. Syaikhul Islam berkata, “Seorang suami berhak untuk bersenang-senang dengan sang istri kapan saja, selama hal itu tidak memberikan dampak negatif kepadanya atau menyibukkannya dari sesuatu yang lebih wajib, jika semua itu tidak ada, maka seorang istri harus memenuhinya.”[11]
Kedua, sesungguhnya penetapan hukum yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dengan pengharaman sikap seorang istri yang menolak ajakan sang suami adalah sebuah tatanan yang membantu terwujudnya makna dari sebuah hubungan suami istri, dengan harapan agar seorang suami lebih dapat menundukkan pan-dangan, juga menjaga kemaluan.[12]
[Disalin dari kitab “Man Tushalli ‘alaihimul Malaaikah wa Man Tal‘anuhum.” Edisi Bahasa Indonesia Orang-Orang yang Dilaknat Malaikat.” Penulis oleh Dr. Fadhl Ilahi, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]  Al-Imam Ibnu Abi Hamzah berkata, “Yang nampak dari hadits tersebut bahwa ajakan di sini adalah ajakan untuk jima’.” (Fat-hul Baari IX/294)
[2]  Muttafaq ‘alaihShahiih al-Bukhari, kitab an-Nikaah, bab Idza Baatat al-Mar-ah Muhaajirah firaasy Zaujiha (no. 5193), dengan redaksi hadits beliau. Juga dalam Shahiih Muslim kitab an-Nikaah bab Tahrim Imtinaa-iha min Firaasyi Zaujiha (no. 122 (1436)).
[3] Muttafaq ‘alaihiShahiih al-Bukhari kitab an-Nikah bab Idza Baatat al-Mar-ah Muhaajirah Firaasy Zaujiha (no. 5194) dan Sha-hiih Muslim kitab an-Nikaah bab Tahriim Imtinaa-iha min Fi-raasyi Zaujiha (II/1059 no. 120 (1436)), dengan lafazh miliknya.
[4]  Ibid.
[5] Syarah an-Nawawi (X/7-8).
[6]  Ibid.
[7]  Dinukil dari kitab Fat-hul Baari (X/8).
[8]  Dinukil dari kitab Majma’uz Zawaa-id wa Manbaul Fawaa-id kitab an-Nikaah bab Haqqul Zauj ‘alal Mar-ah (IV/313). Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan di dalamnya ada Muhammad bin Uqail, haditsnya hasan, di dalamnya ada kelemahan, sedangkan yang lainnya tsiqah.”
[9]  Majma’uz  Zawaa-id wa Manba-ul Fawaa-id. Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Tha-brani di dalam kitab ash-Shagir dan al-Ausath dengan perawi yang tsiqah.
[10] Lihat pembahasan halaman 73.
[11]  As-Siyaasah asy-Syar’iyyah fii Ishlaahir Raa‘i war Raa‘iyyah (hal. 163).
12] Untuk lebih jelas lagi baca kitab at-Tadaabirul Waaqi’iyyah minal Zina fil Fiqhil Islam (hal. 145-146).
Sumber:
http://www.almanhaj.or.id

Potret Kesederhanaan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

Potret Kesederhanaan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

sumber: 
http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/

 

Gelas pecah ditambal oleh Nabi

Anas bin Malik radhiallahu’anhu mengatakan:
أنَّ قَدَحَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ انكسرَ ، فاتخذَ مكان الشَّعْبِ سلسلةً من فضةٍ
Gelas Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pecah. Kemudian beliau menambal bagian pangkal gagangnya dengan perak” (HR. Bukhari no. 3109).
Sebagian kita mungkin memiliki gelas-gelas yang cantik dan menarik. Ketika retak, atau pecah, maka biasanya tak lagi berselera untuk memakainya dan akan berpikir untuk menggantinya dengan yang baru. Namun ternyata tidak dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, gelas yang pecah ditambal boleh beliau. Betapa sederhananya.

Sederhananya cara berpakaian Nabi

Dalam suatu hadits Bukhari-Muslim, diceritakan tentang seorang Arab Badwi (daerah gurun/desa pinggiran) yang mengajukan beberapa pertanyaan penting dan mendasar kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ketika beliau sedang berkumpul bersama para sahabatnya di masjid.
Baca Juga: Kisah Perginya Rasulullah Ke Syam Bersama Abu Thalib
Namun yang menarik, perhatikan bagaimana ketika orang Badwi ini masuk ke masjid. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:
بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَصْحَابِهِ جَاءَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ فَقَالَ: أَيُّكُمُ ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ؟
“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sedang bersama para sahabatnya, datanglah seorang lelaki Badwi lalu bertanya: ‘siapakah diantara kalian yang merupakan cucu Abdul Muthalib?’”
Dalam riwayat lain:
بينما نحن جلوسٌ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم في المسجدِ، دخل رجلٌ على جَمَلٍ، فأناخه في المسجدِ ثم عَقَلَهُ، ثم قال لهم : أَيُّكم مُحَمَّدٌ ؟
“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sedang bersama para sahabatnya, datanglah seorang lelaki sambil menunggang unta, lalu ia meminggirkan untanya di masjid kemudian mengikatnya. Ia bertanya: ‘siapakah diantara kalian yang bernama Muhammad?” (HR. Bukhari no. 63, Muslim no. 12).
Jadi lelaki Badwi ini hendak mencari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, seorang Rasul, namun dia melihat tidak ada orang penampilannya mencolok atau beda sendiri. Sehingga dia perlu untuk bertanya. Ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berbusana dan berpenampilan sebagaimana para sahabat, tidak beda sendiri, tidak mencolok perhatian, walaupun beliau seorang yang paling mulia di antara mereka.

Nabi meminta rezeki sekedar yang memenuhi kebutuhan pokok

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam meminta rezeki kepada Allah bagi keluarganya sekedar makanan yang pas memenuhi kebutuhan pokok, bukan harta yang berlimpah ruah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا
Ya Allah, jadikan rezeki keluarga Muhammad berupa makanan yang secukupnya” (HR. Muslim, no. 1055).
Beliau juga menegaskan bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan pokok seseorang di hari ia bangun dari tidurnya, itu sudah kenikmatan yang luar biasa. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَن أصبحَ مِنكُم آمِنًا في سِرْبِه ، مُعافًى في جسَدِهِ ، عندَهُ قُوتُ يَومِه ، فَكأنَّمَا حِيزَتْ له الدُّنْيا
Barangsiapa bangun di pagi hari dalam keadaan merasakan aman pada dirinya, sehat badannya, dan ia memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah seluruhnya dunia dikuasakan kepadanya” (HR. Tirmidzi no.2346, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, no. 2318).
Sebagian kita memiliki persediaan makanan bahkan tidak hanya untuk hari ini, bahkan beberapa hari ke depan, atau bahkan sampai berbulan-bulan ke depan. Belum lagi harta dalam bentuk lain yang bisa ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan juga kebutuhan tersier (tambahan). Namun ternyata tidak demikian dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, justru rezeki beliau sebatas kebutuhan pokok saja.
Baca juga : Benarkah Rasulullah Melarang Ali bin Abi Thalib Poligami?

Nabi tidak pernah mendapati banyak makanan dalam kesehariannya

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan keluarga tidak mendapati makanan yang melimpah dalam kesehariannya. Namun hanya sekedar tidak kelaparan dan terpenuhinya kebutuhan pokok, sebagaimana dalam hadits-hadits yang sebelumnya.
Dari Malik bin Dinar radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:
مَا شَبِعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُبْزٍ قَطُّ وَلاَ لَحْمٍ إِلاَّ عَلَى ضَفَفٍ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti atau kenyang karena makan daging, kecuali jika sedang menjamu tamu (maka beliau makan sampai kenyang)” (HR. Tirmidzi dalam Asy Syamail no. 70, dishahihkan Al Albani dalam Mukhtashar Asy-Syama’il Al-Muhammadiyah no. 109).
Biasanya sekali dalam dua atau tiga hari beliau dan keluarga baru merasakan kenyang. Itu pun sekedar makan roti gandum, makanan yang sangat sederhana. Aisyah radhiallahu’anha mengatakan:
ما شبِعَ آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من خُبزِ بُرٍّ مَأدومٍ ثلاثةَ أيامٍ حتى لحِقَ باللهِ
“Keluarga Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai ia bertemu dengan Allah (wafat)” (HR. Bukhari no. 5423, Muslim no. 2970).
Dalam riwayat lain:
ما شبع آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ من خبزِ شعيرٍ ، يومَين مُتتابِعَينِ ، حتى قُبِضَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ
“Keluarga Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum dalam dua hari, sampai beliau wafat” (HR. Bukhari no. 6454, Muslim no. 2970).
Sebagian kita setiap hari merasakan kenyang bahkan tidak hanya sekali, namun berkali-kali dalam satu hari. Karena melimpahnya makanan yang kita dapati. Namun sangat sederhananya kehidupan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sampai-sampai hanya merasakan kenyang hanya sekali dalam dua hari atau tiga hari.

Terkadang keluarga Nabi tidak mendapati makanan di suatu hari

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan:
قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟ قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء قال فإني صائمٌ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini?)’. Aku menjawab: ‘wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatupun (untuk dimakan)’. Beliau lalu bersabda: ‘kalau begitu aku akan puasa’” (HR. Muslim no. 1154).
Dari Nu’man bin Basyir radhiallahu’anhu, beliau berkata kepada para sahabat yang lain:
ألستُم في طعامٍ وشرابٍ ما شئتُم ؟ لقد رأيتُ نبيَّكم صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وما يجِدُ من الدَّقَلِ ، ما يملأُ به بطنَه
Bukankah kalian bisa makan dan minum semau kalian? Sungguh aku melihat Nabi kalian Shallallahu’alaihi Wasallam tidak memiliki daql (kurma yang sudah kurang bagus) sama sekali. Dan tidak ada makanan yang bisa memenuhi perutnya” (HR. Muslim no. 2977).
Ternyata Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak selalu memiliki makanan setiap harinya, bahkan makanan yang sederhana sekalipun. Tidak sebagaimana kebanyakan kita yang –walhamdulillah– masih bisa mendapati makanan setiap hari bahkan hingga mengenyangkan perut kita.
Baca Juga: Inilah Kisah-Kisah Unik Sarat Faidah
Istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Ummul Mukminin Aisyah radhiallallahu’anha juga mengatakan:
كان يأتي علينا الشهرُ ما نوقِدُ فيه نارًا، إنما هو التمرُ والماءُ، إلا أن نؤتى باللُّحَيمِ
Pernah kami melalui suatu bulan yang ketika itu kami tidak menyalakan api sekali pun. Yang kami miliki hanya kurma dan air. Kecuali ada yang memberi kami hadiah berupa potongan daging kecil untuk dimakan” (HR. Bukhari no. 6458, Muslim no. 2282).

Sederhananya sandal Nabi

Sandal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bukanlah sandal para raja dan kaisar. Namun sekedar sandal jepit biasa yang terbuat dari kulit. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:
أنَّ نعلَي النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ كان لهما قِبالانِ
Sandal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memiliki dua tali ikatan” (HR. Bukhari no. 5857).
Dalam riwayat lain:
أخرج إلينا أنسٌ نعلينِ جرداويْنِ لهما قِبَالانِ . فحدَّثني ثابتُ البنانيُّ بعدُ عن أنسٍ : أنَّهما نعلا النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ
Suatu hari Anas bin Malik keluar rumah menemui kami, ia memakai sandal kulit yang tidak berbulu dan terdapat dua tali ikatan. Tsabit Al Bunani menuturkan kepadaku, dari Anas bin Malik, beliau berkata: dua sandal tersebut adalah milik Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Bukhari no. 3170).

Sederhananya tempat tidur Nabi

Tempat tidur yang digunakan Nabi Shallallahu’alahi Wasallam sangat sederhana, terbuat dari kulit yang diisi oleh sabut atau dedaunan. Dari Aisyah radhiallahu’anha:
كان فِراشُ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من أدَمٍ، وحَشوُه من لِيفٍ
Tempat tidur Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dari kulit yang diisi dengan sabut” (HR. Bukhari no. 6456, Muslim no. 2082).
Dan terkadang beliau juga tidur di atas tikar yang terbuat dari dedaunan, sehingga berbekas di kulit beliau jika tidur di atasnya. Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma:
دَخلَ عمرُ بنُ الخطَّابِ رضيَ اللَّهُ عنهُ علَى النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ وَهوَ علَى حَصيرٍ قد أثَّرَ في جنبِهِ فقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، لوِ اتَّخذتَ فِراشًا أَوثرَ مِن هذا فقالَ: ما لي ولِلدُّنيا وما لِلدُّنيا وما لي، والَّذي نَفسي بيدِهِ ما مَثَلي ومَثَلُ الدُّنيا إلَّا كَراكبٍ سارَ في يَومٍ صائفٍ فاستَظلَّ تحتَ شَجرةٍ ساعةً من نَهارٍ ثمَّ راحَ وترَكَها
“Umar bin Khattab datang ketika beliau sedang tidur di atas tikar yang membuat bekas pada kulit beliau di bagian sisi. Sontak Umar pun berkata: “Wahai Nabi Allah! Andaikan engkau menggunakan permadani tentu lebih baik dari tikar ini”. Maka beliau pun bersabda: “Apa urusanku terhadap dunia? Permisalan antara aku dengan dunia bagaikan seorang yang berkendaraan menempuh perjalanan di siang hari yang panas terik, lalu ia mencari teduhnya di bawah pohon beberapa saat di siang hari, kemudian ia istirahat di sana lalu meninggalkannya” (HR. At Tirmidzi 2/60, Al Hakim 4/310, Ibnu Majah 2/526. dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1/800).

Sederhananya rumah Nabi

Rumah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat sederhana. Sehingga jika istri beliau, Aisyah radhiallahu ta’ala an’ha, tidur di sana maka sebagian tubuhnya menghalangi Nabi yang sedang shalat. Dari Aisyah radhiyallahu anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ia berkata,
كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا
“Aku tidur di depan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang shalat-pen), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku” (HR. Bukhari no. 382, Muslim no. 512).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata,
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِيْ عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ
“Suatu malam aku kehilangan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur, kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud” (HR. Muslim no. 486).
Baca Juga: Kisah Menakjubkan Ummu Sulaim Saat Ditinggal Mati Anaknya

Nabi tidak meninggalkan warisan berupa harta

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak meninggalkan warisan harta bagi keluarganya. Dari Aisyah radhiallahu’anha, ia mengatakan:
ما ترك رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ دينارًا ، ولا درهمًا ، ولا شاةً ، ولا بعيرًا ، ولا أوصى بشيءٍ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak meninggalkan dinar, dirham, kambing atau unta. Dan tidak memberikan wasiat harta kepada siapapun” (HR. Muslim no. 1256).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri bersabda:
إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Namun mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa menuntut ilmu ia telah mengambil warisan para Nabi dengan jumlah banyak”
Dari Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:
أن فاطمةَ والعباسَ عليهما السلامُ، أتيا أبا بكرٍ يلتمسان ميراثُهما من رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وهما حينئذٍ يطلبان أرضيهما من فدَكَ، وسهمهما من خيبرَ، فقال لهما أبو بكرٍ: سمعتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقولُ: لا نُورثُ، ما تركنا صدقةٌ، إنما يأكلُ آلُ محمدٍ من هذا المالِ
“Fathimah dan Al Abbas ‘alaihimassalam datang kepada Abu Bakar (sepeninggal Nabi). Kemudian keduanya menanyakan mengenai jatah warisan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu sebidang tanah di Fadak dan juga di Khaibar. Maka Abu Bakar berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “aku tidak mewariskan harta, apa yang aku tinggalkan itu untuk sedekah”. Namun keluarga Muhammad makan dari harta ini (ketika Nabi masih hidup)” (HR. Bukhari no. 6725, Muslim no. 1379).
Demikianlah sekelumit kehidupan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang sangat sederhana. Karena akhirat adalah tujuan beliau, bukan dunia. Maka beliau tidak ada keinginan untuk memperbanyak dunia dan bermewah-mewah di dalamnya. Sebagaimana dalam hadits Umar di atas, beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ما لي ولِلدُّنيا وما لِلدُّنيا وما لي، والَّذي نَفسي بيدِهِ ما مَثَلي ومَثَلُ الدُّنيا إلَّا كَراكبٍ سارَ في يَومٍ صائفٍ فاستَظلَّ تحتَ شَجرةٍ ساعةً من نَهارٍ ثمَّ راحَ وترَكَه
“Apa urusanku terhadap dunia? Permisalan antara aku dengan dunia bagaikan seorang yang berkendaraan menempuh perjalanan di siang hari yang panas terik, lalu ia mencari teduhnya di bawah pohon beberapa saat di siang hari, kemudian ia istirahat di sana lalu meninggalkannya” (HR. At Tirmidzi 2/60, Al Hakim 4/310, Ibnu Majah 2/526. dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1/800).
Washallallahu’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in
Baca Juga:
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel:Muslim.or.id

Minggu, November 04, 2018


Assalamu'alaikum. Wr.Wb.

Waktu akan dipertanggungjawabkan

Frofilku

Foto saya
Palembang, Indonesia
MOTTO: "Hidup Adalah Perjuangan"

Total Tayangan Halaman

Entri Populer