Powered By Blogger

SELAMAT DATANG di Blog Putera Pulau Beringin

Semoga Bermanfaat..!

Minggu, November 11, 2018

LAKNAT PARA MALAIKAT BAGI SEORANG ISTRI YANG MENOLAK AJAKAN SUAMINYA UNTUK BERJIMA’

LAKNAT PARA MALAIKAT BAGI SEORANG ISTRI YANG MENOLAK AJAKAN SUAMINYA  UNTUK BERJIMA’

 Oleh
Syaikh Dr Fadhl Ilahi


Dan di antara orang yang dilaknat oleh para Malaikat adalah seorang istri yang menolak ajakan suaminya untuk berjima’. Di antara dalil yang menunjukan hal tersebut adalah:
Pertama: Asy-Syaikhain meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ. 
Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas      ranjangnya[1], tetapi ia tidak mematuhinya, maka para Malaikat akan melaknatnya sampai pagi.”[2]
Kedua: Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah pula Radhiyallahu anhu, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.
Jika seorang wanita tidur dengan meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para Malaikat melaknatnya sampai pagi.”[3]
Dan di dalam riwayat yang lain:
حَتَّى تَرْجِعَ.
Sehingga si istri itu kembali.[4]
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam menjelaskan hadits ini berkata, “Ini adalah sebuah dalil yang menunjukkan haram bagi seorang istri menolak ajakan suaminya ke atas ranjang (untuk berjima’) jika tidak ada alasan secara syara, dan haidh pun bukanlah alasan untuk menolaknya, karena sang suami dalam keadaan seperti ini dapat beristimta(menikmatinya) dengan sesuatu yang di atas kain penutup bagian bawah dari badan.[5]
Di antara faidah yang terkandung di dalam kedua hadits ini adalah:
  1. Sesungguhnya laknat –sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi– berlangsung sampai kemaksiatan itu hilang dengan terbit fajar dan rasa tidak membutuhkan dari pihak suami, atau dengan taubat dan kembalinya sang istri dengan memenuhi keinginan sang suami.[6]
  2. Al-Imam Abu Hamzah mengungkapkan faidah lain dari hadits ini, beliau rahimahullah berkata, “Di dalamnya ada sebuah dalil bahwa do‘a Malaikat, yang baik atau yang buruk adalah sebuah do‘a yang diterima, karena di dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mengancam dengan hal tersebut.”[7]
Ada hadits lain lagi yang menunjukkan sikap seperti ini, di antaranya adalah:
Pertama: Al-Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
ثَلاَثٌ لاَ تُقْبَلُ لَهُمْ صَلاَةٌ، وَلاَ تُصْعَدُ لَهُمْ إِلَى اللهِ حَسَنَةٌ: السَّكْرَانُ حَتَّى يُصْحَى، وَالْمَرْأَةُ السَّاخِطُ عَلَيْهَا زَوْجُهَا، وَالْعَبْدُ اْلآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ فَيَضَعُ يَدَهُ فِي يَدِ مَوَالِيْهِ.
Ada tiga orang yang shalatnya tidak akan diterima, dan kebaikan mereka tidak akan naik kepada Allah, (1) orang yang mabuk sehingga dia sadar, (2) seorang wanita yang dibenci oleh suaminya, dan (3) seorang hamba sahaya yang lari sehingga dia kembali dan meletakkan tangannya di tangan tuannya.”[8]
KeduaAl-Imam ath-Thabrani meriwayatkan juga dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
اِثْنَانِ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا: عَبْدٌ آبِقٌ مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْهِمْ، وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ.
“Ada dua orang yang shalat mereka tidak pernah melewati kepala mereka: (1) seorang hamba sahaya yang lari dari tuan-tuannya sehingga ia kembali kepada mereka, dan (2) seorang wanita yang berbuat maksiat kepada suaminya sehingga ia kembali.”[9]
Perhatian!
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan masalah ini:
Pertama, penetapan hukum haram bagi istri yang menolak keinginan suami ke atas ranjang (untuk berjima’) disyaratkan dengan tidak ada alasan secara syar’i, hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi[10] karena itu seorang suami harus selalu memperhatikan keadaan sang istri ketika ia memintanya. Syaikhul Islam berkata, “Seorang suami berhak untuk bersenang-senang dengan sang istri kapan saja, selama hal itu tidak memberikan dampak negatif kepadanya atau menyibukkannya dari sesuatu yang lebih wajib, jika semua itu tidak ada, maka seorang istri harus memenuhinya.”[11]
Kedua, sesungguhnya penetapan hukum yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dengan pengharaman sikap seorang istri yang menolak ajakan sang suami adalah sebuah tatanan yang membantu terwujudnya makna dari sebuah hubungan suami istri, dengan harapan agar seorang suami lebih dapat menundukkan pan-dangan, juga menjaga kemaluan.[12]
[Disalin dari kitab “Man Tushalli ‘alaihimul Malaaikah wa Man Tal‘anuhum.” Edisi Bahasa Indonesia Orang-Orang yang Dilaknat Malaikat.” Penulis oleh Dr. Fadhl Ilahi, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]  Al-Imam Ibnu Abi Hamzah berkata, “Yang nampak dari hadits tersebut bahwa ajakan di sini adalah ajakan untuk jima’.” (Fat-hul Baari IX/294)
[2]  Muttafaq ‘alaihShahiih al-Bukhari, kitab an-Nikaah, bab Idza Baatat al-Mar-ah Muhaajirah firaasy Zaujiha (no. 5193), dengan redaksi hadits beliau. Juga dalam Shahiih Muslim kitab an-Nikaah bab Tahrim Imtinaa-iha min Firaasyi Zaujiha (no. 122 (1436)).
[3] Muttafaq ‘alaihiShahiih al-Bukhari kitab an-Nikah bab Idza Baatat al-Mar-ah Muhaajirah Firaasy Zaujiha (no. 5194) dan Sha-hiih Muslim kitab an-Nikaah bab Tahriim Imtinaa-iha min Fi-raasyi Zaujiha (II/1059 no. 120 (1436)), dengan lafazh miliknya.
[4]  Ibid.
[5] Syarah an-Nawawi (X/7-8).
[6]  Ibid.
[7]  Dinukil dari kitab Fat-hul Baari (X/8).
[8]  Dinukil dari kitab Majma’uz Zawaa-id wa Manbaul Fawaa-id kitab an-Nikaah bab Haqqul Zauj ‘alal Mar-ah (IV/313). Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan di dalamnya ada Muhammad bin Uqail, haditsnya hasan, di dalamnya ada kelemahan, sedangkan yang lainnya tsiqah.”
[9]  Majma’uz  Zawaa-id wa Manba-ul Fawaa-id. Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Tha-brani di dalam kitab ash-Shagir dan al-Ausath dengan perawi yang tsiqah.
[10] Lihat pembahasan halaman 73.
[11]  As-Siyaasah asy-Syar’iyyah fii Ishlaahir Raa‘i war Raa‘iyyah (hal. 163).
12] Untuk lebih jelas lagi baca kitab at-Tadaabirul Waaqi’iyyah minal Zina fil Fiqhil Islam (hal. 145-146).
Sumber:
http://www.almanhaj.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Assalamu'alaikum. Wr.Wb.

Waktu akan dipertanggungjawabkan

Frofilku

Foto saya
Palembang, Indonesia
MOTTO: "Hidup Adalah Perjuangan"

Total Tayangan Halaman

Entri Populer