LAKNAT PARA MALAIKAT BAGI SEORANG ISTRI YANG MENOLAK AJAKAN SUAMINYA UNTUK BERJIMA’
Oleh
Syaikh Dr Fadhl Ilahi
http://www.almanhaj.or.id
Oleh
Syaikh Dr Fadhl Ilahi
Dan di antara orang yang dilaknat oleh
para Malaikat adalah seorang istri yang menolak ajakan suaminya untuk
berjima’. Di antara dalil yang menunjukan hal tersebut adalah:
Pertama: Asy-Syaikhain meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.
“Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas ranjangnya[1], tetapi ia tidak mematuhinya, maka para Malaikat akan melaknatnya sampai pagi.”[2]
Kedua: Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah pula Radhiyallahu anhu, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.
“Jika seorang wanita tidur dengan meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para Malaikat melaknatnya sampai pagi.”[3]
Dan di dalam riwayat yang lain:
حَتَّى تَرْجِعَ.
“Sehingga si istri itu kembali.”[4]
Al-Imam
an-Nawawi rahimahullah di dalam menjelaskan hadits ini berkata, “Ini
adalah sebuah dalil yang menunjukkan haram bagi seorang istri menolak
ajakan suaminya ke atas ranjang (untuk berjima’) jika tidak ada alasan
secara syara, dan haidh pun bukanlah alasan untuk menolaknya, karena
sang suami dalam keadaan seperti ini dapat beristimta(menikmatinya) dengan sesuatu yang di atas kain penutup bagian bawah dari badan.[5]
Di antara faidah yang terkandung di dalam kedua hadits ini adalah:
- Sesungguhnya laknat –sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi– berlangsung sampai kemaksiatan itu hilang dengan terbit fajar dan rasa tidak membutuhkan dari pihak suami, atau dengan taubat dan kembalinya sang istri dengan memenuhi keinginan sang suami.[6]
- Al-Imam Abu Hamzah mengungkapkan faidah lain dari hadits ini, beliau rahimahullah berkata, “Di dalamnya ada sebuah dalil bahwa do‘a Malaikat, yang baik atau yang buruk adalah sebuah do‘a yang diterima, karena di dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mengancam dengan hal tersebut.”[7]
Ada hadits lain lagi yang menunjukkan sikap seperti ini, di antaranya adalah:
Pertama: Al-Imam
ath-Thabrani meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu,
ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
ثَلاَثٌ
لاَ تُقْبَلُ لَهُمْ صَلاَةٌ، وَلاَ تُصْعَدُ لَهُمْ إِلَى اللهِ
حَسَنَةٌ: السَّكْرَانُ حَتَّى يُصْحَى، وَالْمَرْأَةُ السَّاخِطُ
عَلَيْهَا زَوْجُهَا، وَالْعَبْدُ اْلآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ فَيَضَعُ
يَدَهُ فِي يَدِ مَوَالِيْهِ.
“Ada
tiga orang yang shalatnya tidak akan diterima, dan kebaikan mereka
tidak akan naik kepada Allah, (1) orang yang mabuk sehingga dia sadar,
(2) seorang wanita yang dibenci oleh suaminya, dan (3) seorang hamba
sahaya yang lari sehingga dia kembali dan meletakkan tangannya di tangan
tuannya.”[8]
Kedua: Al-Imam
ath-Thabrani meriwayatkan juga dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia
berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
اِثْنَانِ
لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا: عَبْدٌ آبِقٌ مِنْ مَوَالِيْهِ
حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْهِمْ، وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى
تَرْجِعَ.
“Ada dua orang
yang shalat mereka tidak pernah melewati kepala mereka: (1) seorang
hamba sahaya yang lari dari tuan-tuannya sehingga ia kembali kepada
mereka, dan (2) seorang wanita yang berbuat maksiat kepada suaminya
sehingga ia kembali.”[9]
Perhatian!
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan masalah ini:
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan masalah ini:
Pertama, penetapan
hukum haram bagi istri yang menolak keinginan suami ke atas ranjang
(untuk berjima’) disyaratkan dengan tidak ada alasan secara syar’i, hal
ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi[10] karena
itu seorang suami harus selalu memperhatikan keadaan sang istri ketika
ia memintanya. Syaikhul Islam berkata, “Seorang suami berhak untuk
bersenang-senang dengan sang istri kapan saja, selama hal itu tidak
memberikan dampak negatif kepadanya atau menyibukkannya dari sesuatu
yang lebih wajib, jika semua itu tidak ada, maka seorang istri harus
memenuhinya.”[11]
Kedua, sesungguhnya
penetapan hukum yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam
dengan pengharaman sikap seorang istri yang menolak ajakan sang suami
adalah sebuah tatanan yang membantu terwujudnya makna dari sebuah
hubungan suami istri, dengan harapan agar seorang suami lebih dapat
menundukkan pan-dangan, juga menjaga kemaluan.[12]
[Disalin dari kitab “Man Tushalli ‘alaihimul Malaaikah wa Man Tal‘anuhum.” Edisi Bahasa Indonesia Orang-Orang yang Dilaknat Malaikat.” Penulis oleh Dr. Fadhl Ilahi, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1] Al-Imam Ibnu Abi Hamzah berkata, “Yang nampak dari hadits tersebut bahwa ajakan di sini adalah ajakan untuk jima’.” (Fat-hul Baari IX/294)
[2] Muttafaq ‘alaih. Shahiih al-Bukhari, kitab an-Nikaah, bab Idza Baatat al-Mar-ah Muhaajirah firaasy Zaujiha (no. 5193), dengan redaksi hadits beliau. Juga dalam Shahiih Muslim kitab an-Nikaah bab Tahrim Imtinaa-iha min Firaasyi Zaujiha (no. 122 (1436)).
[3] Muttafaq ‘alaihi. Shahiih al-Bukhari kitab an-Nikah bab Idza Baatat al-Mar-ah Muhaajirah Firaasy Zaujiha (no. 5194) dan Sha-hiih Muslim kitab an-Nikaah bab Tahriim Imtinaa-iha min Fi-raasyi Zaujiha (II/1059 no. 120 (1436)), dengan lafazh miliknya.
[4] Ibid.
[5] Syarah an-Nawawi (X/7-8).
[6] Ibid.
[7] Dinukil dari kitab Fat-hul Baari (X/8).
[8] Dinukil dari kitab Majma’uz Zawaa-id wa Manbaul Fawaa-id kitab an-Nikaah bab Haqqul Zauj ‘alal Mar-ah (IV/313). Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan di dalamnya ada Muhammad bin Uqail, haditsnya hasan, di dalamnya ada kelemahan, sedangkan yang lainnya tsiqah.”
[9] Majma’uz Zawaa-id wa Manba-ul Fawaa-id. Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Tha-brani di dalam kitab ash-Shagir dan al-Ausath dengan perawi yang tsiqah.
[10] Lihat pembahasan halaman 73.
[11] As-Siyaasah asy-Syar’iyyah fii Ishlaahir Raa‘i war Raa‘iyyah (hal. 163).
12] Untuk lebih jelas lagi baca kitab at-Tadaabirul Waaqi’iyyah minal Zina fil Fiqhil Islam (hal. 145-146).
Sumber: _______
Footnote
[1] Al-Imam Ibnu Abi Hamzah berkata, “Yang nampak dari hadits tersebut bahwa ajakan di sini adalah ajakan untuk jima’.” (Fat-hul Baari IX/294)
[2] Muttafaq ‘alaih. Shahiih al-Bukhari, kitab an-Nikaah, bab Idza Baatat al-Mar-ah Muhaajirah firaasy Zaujiha (no. 5193), dengan redaksi hadits beliau. Juga dalam Shahiih Muslim kitab an-Nikaah bab Tahrim Imtinaa-iha min Firaasyi Zaujiha (no. 122 (1436)).
[3] Muttafaq ‘alaihi. Shahiih al-Bukhari kitab an-Nikah bab Idza Baatat al-Mar-ah Muhaajirah Firaasy Zaujiha (no. 5194) dan Sha-hiih Muslim kitab an-Nikaah bab Tahriim Imtinaa-iha min Fi-raasyi Zaujiha (II/1059 no. 120 (1436)), dengan lafazh miliknya.
[4] Ibid.
[5] Syarah an-Nawawi (X/7-8).
[6] Ibid.
[7] Dinukil dari kitab Fat-hul Baari (X/8).
[8] Dinukil dari kitab Majma’uz Zawaa-id wa Manbaul Fawaa-id kitab an-Nikaah bab Haqqul Zauj ‘alal Mar-ah (IV/313). Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan di dalamnya ada Muhammad bin Uqail, haditsnya hasan, di dalamnya ada kelemahan, sedangkan yang lainnya tsiqah.”
[9] Majma’uz Zawaa-id wa Manba-ul Fawaa-id. Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Tha-brani di dalam kitab ash-Shagir dan al-Ausath dengan perawi yang tsiqah.
[10] Lihat pembahasan halaman 73.
[11] As-Siyaasah asy-Syar’iyyah fii Ishlaahir Raa‘i war Raa‘iyyah (hal. 163).
12] Untuk lebih jelas lagi baca kitab at-Tadaabirul Waaqi’iyyah minal Zina fil Fiqhil Islam (hal. 145-146).
http://www.almanhaj.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar