Powered By Blogger

SELAMAT DATANG di Blog Putera Pulau Beringin

Semoga Bermanfaat..!

Senin, Desember 17, 2018

SEMENDE DALAM SEJARAH



SEMENDE DALAM SEJARAH
Menyebut dan membicarakan Semende, maka akan terjadi rangkaian kata dan makna dengan sebutan:

1. Jeme Semende
2. Tanah Semende
3. Bahasa Semende
4. Adat Semende

I. ORANG SEMENDE/JEME SEMENDE

Orang Semende atau Jeme Semende merupakan komunitas tersendiri di Provinsi Sumatera Selatan yang tinggal dan berdiam di Kecamatan Semende, Kabupaten Muara Enim. Semende termasuk bagian dari kelompok Pasemah, termasuk Lematang, Lintang dan Lembak. Secara geografis Semende di bagi menjadi 2 kelompok, yaitu: 1)
1. Semende Darat di Kabupaten Muara Enim
2. Semende Lembak di Kabupaten Ogan Komring Ulu

Perjalanan hidup orang Semende menganut agama Islam pada awalnya dimulai dari adanya seorang Ulama (Wali) di Semende (Tumutan Tujuh): Tuan Guru SUTABARIS, dengan gelar MURTHABARAQ yang setingkat atau semasa dengan para wali Sembilan: Sunan Ampel, di Pulau Jawa2) sekitar abad 15 Masehi. Perjalanan hidup tersebut dapat diceritakan sebagai berikut.

1. Sunan Kali Jaga diantaranya adalah murid Sutabaris dan sebelum menjadi Wali Allah gurunya ada 3 (tiga) orang sebagai berikut :
1. Sunan Bonang selama 8 (delapan) tahun
2. Sunan Ampel selama 3 (tiga) tahun
3. Sutabaris di Tumutan Tujuh Semende selama 3 (tiga) tahun

2. Di Tumutan Tujuh Semende pernah diadakan rapat dan pertemuan-pertemuan penting para Wali untuk memecahkan permasalahan-permasalahan di Bumi Nusantara (Indonesia) pada saat itu, diantaranya musyawarah dalam menentukan Raja Islam pertama di Demak, Raden Fatah.

Para Wali yang rapat bermusyawarah di Tumutan Tujuh Semende tersebut adalah 4 (empat) orang wakil dari Wali Sembilan di Jawa dan seorang dari Sumatera, yaitu:
1. Sunan Gunung Jati (Cirebon Jawa Barat)
2. Sunan Kali Jaga (Jawa Tengah)
3. Sunan Muria (Jawa Tengah)
4. Sunan Bonang (Jawa Timur)
5. Sutabaris (Sumatera/Semende)

1).Sumber Browsing Internet
2). Sumber dari KH. Kgs Abdurrahman Guru Tarikat Sammaniyah
Dari sumber lain setelah itu menyatakan banyak orang-orang dan para ulama datang untuk belajar, membawa ilmu pengetahuan dan menetap di Semende, yaitu:
1. Puyang Tuan Raje Ulie tinggal di Prapau
2. Puyang Baharuddin di Muara Danau
3. Puyang Leby (Pengulu Abd. Kohar) di Pulau Panggung
4. Puyang Nakanadin di Muara Tenang
5. Puyang Mas Pangeran Bonang di Muara Tenang
6. Puyang Skin Mande (Sang Diwe) di Muara Tenang
7. Puyang Raden Singe (asal Majapahit) di Muara Tenang
8. Puyang Rabbushshamad di Tanjung Raya
9. Puyang Regan Bumi di Tanjung Raya
10. Puyang Same Wali di Tanjung Tiga
11. Puyang Tuan Kecik (Rebiah Sakti) di Tanjung Laut
12. Puyang Raden Walet di Aremantai
13. Puyang Rene di Pulau Panggung dari Jepara (Tahun 1800 M)

Adanya Sutabaris di Semende (Tumutan Tujuh) dan terjadinya rapat/musyawarah di Semende yang dihadiri 4 (empat) Wali diantara 9 (sembilan) Wali dari Jawa serta berdatangannya orang-orang dan para ulama/wali (puyang, sebutan jeme Semende) membuktikan bahwa ajaran islam (Tauhid dan Syariat), adat istiadat ( kebudayaan Islam) sudah sejak lama dikenal oleh Jeme Semende. Mengapa orang semendo (Jeme Semende) tidak ingin mencari tahu, menyelidiki/mempelajari tentang sejarah semende? Namun demikian, ketaatan jeme semende beragama Islam dan menjalankan syariatnya telah dimulai sejak masih anak-anak, muda dan tua telah membuktikan adanya pengaruh ajaran islam yang mendalam kepada jeme semende. Dengan demikian, ajaran islam tertanam dan terpatri pada rohani dan jasmaninya. Jeme Semende dalam pergaulannya memakai adat tunggu tubang yang berpedoman pada Al Quran dan Al Hadist, diantaranya: mencintai, menghargai dan membela perempuan (Tunggu Tubang) yang dipimpin oleh Meraje. Hal tersebut sesuai dengan salah satu perintah ajaran Islam, tafsir H. Oemar Bakri: QS. Almujadalah, ayat 1-4. Inilah salah satu cara islam meningkatkan derajat wanita. Wanita tidak boleh dibiarkan nasibnya terlunta-lunta.3)

Pesatnya perkembangan agama islam di Semende dapat dibuktikan dengan adanya Para ulama atau kiai yang “naun” di Makkah yang pulang ke Semende, yaitu:
1. K.H. Mukhtar (ahli Nahu dan Fiqih) di Pulau Panggung
2. K.H. Abd Majid (alim membaca Al Quran) di Pulau Panggung
3. K.H. Abd Karim (hafidz Al Quran) di Muara Tenang
4. K.H. Abd Jabbar (ahli Nahu Syorof) di Remantai
5. K.H. Hasan Yusuf (ahli Nahu syorof) di Tanjung Raye
6. K.H. Zaini (ahli Qira’at Al Quran) di Tanjung Agung
7. K.H. Burhan (ahli Nahu Syorof) di Pajar Bulan
8. K.H. Marsid (ahli nahu Syorof) di Muara Tenang
9. Dan adalagi H.M. Yasin cucu K.H. Majid keluaran Mesir (penulis Qur’an Pusaka Indonesia di Jakarta zaman Presiden R.I pertama: Ir. Soekarno).

3)Tafsir Rahmat H.Umar Bakri cetakan ke 3 Jakarta 15 maret 1984
Dalam hal pemerintahan, dapat diketahui bahwa Pangeran Rene adalah Kepala Marga pertama pada zaman Belanda (sekitar tahun 1800 M) di Pulau panggung Semende. Pangeran Rene ini berasal dari Jepara Demak Jawa Tengah dan memiliki 3 saudara, dua orang saudaranya (kakaknya: Puyang Jadi dan adiknya: Puyang Setia) tinggal di daerah Marga Bengkulak Kecamatan Tanjung Lubuk OKI. 4)

Setelah Pangeran Rene meninggal, maka digantikan oleh anaknya Pangeran Anom Kupang (tahun 1850 M). Pada masa pemerintahan Pangeran Anom Kupang inilah Belanda bermaksud untuk menduduki daerah Semende, akan tetapi Belanda tidak dapat masuk, karena rakyat Semende sangat melawan dan dengan landasan agama Islam yang kuat, mereka tidak mau wilayahnya diganggu oleh siapapun juga, apalagi dijajah oleh Belanda. Atas kelicikan Belanda, maka pada 14 Agustus 1869 dibuat perjanjian antara Pemerintah Belanda dengan Pangeran Anom Kupang berupa piagam yang ditulis di atas Tembaga yang berisikan 24 pasal dan disimpan di Museum Rumah Bari Palembang, antara lain dinyatakan:5)

1. Daerah Semende yang dipimpin Pangeran Anom Kupang tidak takluk kepada Pemerintah Belanda.
2. Daerah Semende diakui Belanda sebagai Daerah Istimewa (SINDANG MERDEKA).
3. Tidak diwajibkan membayar upeti (pajak) kepada Belanda.
4. Tentara Belanda tidak boleh masuk daerah Sindang Merdeka sebelum mendapat izin Pemerintah Sindang Merdeka.
5. Orang luar Sindang Merdeka tidak berhak mengadili rakyat Sindang Merdeka dan mereka harus dikembalikan ke tempat asal (Sindang Merdeka), dan ia berhak mengadili orang luar bila berbuat kesalahan di dalam daerah Sindang Merdeka.

Perjuangan melawan penjajah Belanda telah dibuktikan oleh Puyang Rentul Panji Alam, Puyang Kepiri, Puyang Rabul, yang mempertahankan Benteng Aur Duri (Aik Enim Dik Beghikan). Kemudian Puyang Sangin, dengan julukan: Karang Jelatang dari Muara Tenang, berjuang melawan Belanda di Kecamatan Tanjung Agung Enim, yang juga beristrikan orang Pulau Panggung Enim, di antara anak cucunya adalah H.M. Thoyib dan dr. Mustofa.

Dalam mempertahankan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, pejuang-pejuang Semende yang terkenal antara lain :

1. Kapten Idham dari Pulau Panggung
2. Kapten H. M. Ichsan dari Tanjung Laut
3. Letnan Muis dari Pulau Panggung
4. Kol. TNI. (Purn) H. A. Zaidin dari Muara Tenang
5. Letkol. TNI (Purn) H. M. Badri dari Pulau Panggung
6. Gori dari Pulau Panggung
7. Rudi dari Pulau Panggung

4) Sumber data H.Kohapa Mantan KUA Pulau Panggung
5) Ibid H.Kohapa
8. H. Yazid Kenaru Pelda. TNI Angkatan 1945, dari Pajar Bulan
9. H.M. Djamili dari Muara Tenang, yang dijuluki Gajah Miri dan ditakuti Belanda
10. Mayor Mingsur Panji Alam dari Bayur Kisam cucu Rentul P. Alam dari Ma. Tenang
11. Kuris dari Tanjung Raya
12. Letnan Aziz Kontar dari Pulau Panggung
13. Sersan Bachtiar dari Pulau Panggung
14. Sersan Matseroh dari Muara Tenang
15. Laskar Ibnu Hasyim dari Pulau Panggung
16. Tentara Pelajar Drs. H. Barmawi HMS dari Muara Tenang
17. Tentara Pelajar Drs. H. Fuad Bahyien dari Pulau Panggung

Tidak dapat dilupakan juga pejuang wanita Semende seperti :
1. Hj. Kawimah Zaidin dari Tanjung Raya.
2. Hj. Badiyah Dahnan dari Tanjung Raya

II. TANAH SEMENDE

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tanah Semende secara geografis terdiri dari 2 (dua) kelompok: Semende Darat di Kabupaten Muara Enim dan Semende Lembak di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Namun demikian, dimanakah tanah Semende bermula? Tanah Semende berada di dataran tinggi sepanjang deretan Bukit Barisan Pulau Sumatera. Ada 7 (tujuh) dataran tinggi sepanjang Bukit Barisan, yaitu: 6)
1. Dataran Tinggi Gayo Luas di Provinsi Aceh
2. Dataran Tinggi Karo di Provinsi Sumatera Utara
3. Dataran Tinggi Agam di Sumatera Barat
4. Dataran Tinggi Kerinci di Provinsi Jambi
5. Dataran Tinggi Rejang Lebong di Provinsi Bengkulu
6. Dataran Tinggi Tanah Besemah di Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan
7. Dataran Tinggi Tanah Semende (Tumutan Tujuh) di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.

Sebagaian orang di dunia mengetahui dan secara diam-diam mengakui bahwa bilangan ke tujuh merupakan angka yang mengandung kekeramatan dan keunggulan non fisik. Dari 7 (tujuh) dataran tinggi di sepanjang Bukit Barisan di Pulau Sumatera tersebut dataran tinggi yang ke 7 (tujuh) terdapat di Semende. Dan di dataran tinggi itulah Bukit Barisan Hutan Belantara Tumutan Tujuh tempatnya Tuan Guru Sutabaris bermukim.

- Di Barat dikenal ”The Magaifecent Seven” (Tujuh Ksatria Super)
- Di Timur )Jepang) dikenal ”The Seven Samurai” (Tujuh Satria Samurai)
- Di Indonesia dikenal ”Tujuh Dataran Tinggi” dan ”Bukit Tumutan Tujuh” (The Hill of Seven Watter Resources) yang terdapat di Semende Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan.

6)Drs. H. Fuad Bahyen Pensiunan Pertamina Pusat Jakarta
Dengan adanya perkembangan jaman dan peningkatan jumlah penduduk (Jeme Semende), pemukiman jeme semende telah menyebar kewilayah nusantara dalam bentuk komunitas-komunitas yang diantaranya menetap dengan perkembangan sebagai berikut :

1. Semende Darat (asal mula) di Kabupaten Muara Enim
2. Semende Lembak di Kabupaten Ogan Komring Ulu
3. Pulau Beringin Bayur
4. Ogan
5. Komering Ulu
6. Balik Bukit Barisan
7. Bengkulu Selatan Muara Sindang
8. Ulu Nasal
9. Marga Kinal
10. Padang Guci
11. Kedurang
12. Segimin
13. Semende Pesisir
14. Semende Abung
15. Marga Kasui (Rebang)
16. Kecamatan Bukit Kemuning
17. Sumber Jaya, Way Tenung
18. Marga Sekampung Talang Padang
19. Air Sepanas
20. Metro Tanjung Karang
21. Kaliandak dan Ketapang (Gunung Palas)
22. Meliputi Sebagian Pegunungan di Sumatera Selatan

Sebagian pendapat menyatakan bahwa terjadinya pengembangan tempat (wilayah) tersebut adalah atas inisiatif Puyang Awak (Nurqadin) dan kawan-kawan pada saat mencari tanah untuk anak cucunya Jeme Semende.7) Pendapat lain ada yang menyebutkan bahwa Puyang Awak (Nurqadin) adalah anak angkat Puyang Baharudin dari Muara Danau Semende, dan ia menugaskan Puyang Awak mencari tanah untuk anak cucu Jeme Semende.

Puyang Awak (Nurqadin) mencari tanah.8)
1. Puyang Awak dengan ditemani Puyang Hasanuddin dari Banten Jawa Barat (murid Syech Abdul Muhyi dari murid syech Abdul Rauf AL Sinkili Aceh) dan kawan-kawan berjalan kearah Bukit Barisan (Tulang Idang), Pematang Lembah Kapur. Setelah tiba di Bukit Barisan, Puyang Awak menoleh ke kanan dan ke kiri dan menyatakan bahwa sepemandangan mataku Bukit Barisan itu kelak tempat anak cucuku (Jeme Semende) pindah.

7) H.Tjikdeham mantan kepala SD Semende
8) Ibit
2. Mereka berjalan lagi menelusuri lereng Bukit Barisan, melewati Bukit Patah, Bukit Besar (sumber air panas) Ulu Indikat Bukit Kekulang, Bukit Pematang Kayu Are, naik Bukit Bepagut, turun ke Bukit Ringgit, terus ke Bukit Balai, Ulu Danau, Bukit Perigi, naik ke Gunung Seminung, Gunung Tanggamus, Gunung Raja Basa sampai kepinggir Laut Selat Sunda, di Ketapang menyeberang ke Banten. Pada tiap-tiap puncak Gunung dan Bukit Barisan, Puyang Awak menyatakan bahwa sepemandangan mataku kekanan dan kekiri adalah tempat anak cucuku pindah dikemudian hari.
3. Daerah-daerah tempat yang di lewati Puyang Awak berserta Puyang Hasanuddin dan kawan-kawan tersebut adalah bagian Hulu Sungai seperti Sungai Indikat, Enim, Ogan, Komering, Way Besai, Way Sekampung, Way Seputuih, Way Tulang Bawang, dan Sebelah kiri Ulu Sungai Manak Kedurang, Padang Guci, Kinal, Muara Saung, Nasal dan lain-lain.

Dengan demikian, tanah sepanjang mata Puyang Awak memandang ke kanan dan ke kiri mulai dari daerah Besemah sampai ke Kaliandak Ketapang (Lampung) dan tepi Laut penyeberangan Banten, adalah tempat anak cucu Puyang awak (Jeme Semende) pindah di kemudian hari. Kenyataannya memang demikian dan terbukti Jeme Semende sudah banyak yang pindah ke sana termasuk Jawa (NUSANTARA) bahkan ada yang menetap keluar negeri: MAKKAH, Saudi Arabia.
1. Puyang Hasanuddin dari Banten menyatakan pula kepada Puyang Awak (Nurqadin) bahwa di seberang sana (Jawa Barat) bagian barat ada Gunung Payung, disanalah tempat kelahiranku (tanah pusaka). Jeme Semende banyak yang mengaji/belajar Al-Quran dan memperdalam agama Islam di Banten, anak cucu Puyang Awak dapat pindah ke Banten (Gunung Payung) kata Puyang Hasanuddin.
2. Di Ketapang (Kaliandak, Gunung Palas) Puyang Awak menanamkan/menancapkan tongkatnya dari bambu betung, sebagai tanda dan dititipkan kepada Puyang Raden Embe untuk menjaganya.

Kedatangan para ulama/wali dan ada yang menetap di Semende Darat. 9)

Bertepatan dengan terjadinya perang di Kerajaan Mataram pada abad ke-17, para puyang (ulama/wali) berdatangan ke Semende dengan masing-masing membawa berbagai ilmu pengetahuan, seperti :
1. Puyang Mas Pangeran Bonang (dari kerajaan Mataram, Jawa Tengah), menyebarkan/mengajarkan agama Islam (Al-Quran dan Ilmu Tauhid).
2. Puyang Regan, Nakanadin (dari kerajaan Mataram, Jawa Tengah), mengajarkan agama Islam dan Hukum Adat
3. Puyang Ahmad dari Sumatera Barat, mengajarkan Agama Islam dan Hukum adat
4. Puyang Sangmurti dari Rindu Ati Penanjung Bengkulu Utara penyebar Hukum Adat dan Dukun Padi

9. Ibid H.Tjikdeham
5. Puyang Pemeriksa Alam dari Desa Lubuk Buntak Mulak, menyebarkan Hukum Adat, betungguan dan membela kebenaran
6. Puyang Agung Nyawe/Abdul Malik bin Abdullah (1678-1736) dari Trenggano, Semenanjung Malaka (Malaysia) adalah murid syech Abdul Muhyi dari murid syech Abdul Rauf Al Sinkili Aceh, mengajarkan bahasa Melayu Sangsekerta dan agama Islam
7. Puyang Kecabang dari Pasemah, mengajarkan Hukum Adat
8. Puyang Hasanuddin asal Banten Jawa barat murid syech Abdul Muhyi dari murid syeh Abdul Rauf Al Sinkili Aceh, penyebar/mengajarkan agama Islam
9. Puyang Samewali, menyebarkan Hukum Adat.

III. BAHASA SEMENDE

Bahasa sehari-hari Jeme Semende adalah bahasa Semende dengan kata-katanya berakhiran “E”, dilihat dari logat dan sebutan kata, bahasa semende ini termasuk dalam kelompok bahasa Melayu, sedangkan bahasa tulis menulisnya dikenal dengan Surat Ulu dan tempat menulisnya dibuat dari kulit kayu yang disebut dengan KAGHAS.

IV. ADAT ISTIADAT SEMENDE

Adat istiadat dan kebudayaan Semende sangat dipengaruhi oleh ajaran islam. Adat istiadat Semende yang sampai dengan saat ini masih sangat kuat dipegang oleh jeme Semende adalah adat istiadat TUNGGU TUBANG. Adat ini mengatur hak warisan dalam keluarga bahwa anak perempuan tertua sebagai ahli waris yang utama. Warisan tersebut seperti Rumah, sawah, kolam (tebat), kebun (ghepangan), dsb., yang diwariskan secara turun temurun. Warisan tersebut adalah harta pusaka tinggi, tidak boleh di bagi, tetap untuk tunggu tubang, kecuali kalau tuggu tubang menyerah, tidak mau lagi menjadi tunggu tubing. 10)

Untuk lebih jelasnya, adat istiadat semende di bagi menjadi:

1. Asal dan Terjadinya Adat Semende
2. Pengertian Semende
3. Lambang Adat Semende/Tunggu Tubang

1.Asal dan Terjadinya Adat Semende
Pada umumnya Jeme Semende mengakui dan menyatakan bahwa Adat Semende bertitik tolak dan berpedoman pada ajaran islam (kebudayaan islam) dan terjadinya adat semende ini adalah hasil rapat/musyawarah para puyang (ulama/wali) Semende yang bertempat di Pardipe Pagaruyung Marga Lubuk Buntak Pasemah pada Abad ke-17 dan sebagai koordinatornya: Puyang Awak (Nurqadim).

10) KH. Abd Jabbar Ulama Semende

Catatan :
1. Puyang Awak (Nurgadin) pada tahun 1650 M adalah anak angkat Puyang Baharuddin di Muara Danau dan dia tidak menyusuk/tinggal di tanah Semende.
2. Isteri Puyang Awak adalah adik perempuan (kelawai) Puyang Leby (Abdul Qohar) tidak ada keturunan.
3. Puyang Awak belajar mengaji (memperdalam) agama islam ke Aceh, gurunya Tuan Syekh Abdul Rauf Al Sinkili (1615–1693) yang pulang dari Mekkah pada tahun 1661 M. 11)
4. Suami adik perempuan (kelawai) Puyang Awak adalah Puyang Tuan Raje Ulie di Prapau Semende.
5. Tuan Syekh Abdul Rauf Al Sinkili adalah Wali Allah guru tarekat Satariyah, di antara muridnya adalah sbb :
- Syekh Burhanuddin Ulakan dari Sumatera Barat (1646 M)
- Syekh Abdul Muhyi dari Jawa Barat
- Syekh Nurqadin (Puyang Awak) dari Semende (1650 M)

Murid yang mendapat ijazah untuk mengajarkan/meneruskan tarekat Satariyah dari Syekh Abdul Rauf al Sinkili adalah Syekh Burhanudin Ulakan dari Sumatera Barat, dan Syekh Abdul Muhyi dari Jawa Barat, yang mempunyai murid dan mendapat ijazah meneruskan tarekat Satariyah bernama H.M. Hasanuddin dari Banten. 12)
Puyang Hasanuddin inilah diantaranya yang diajak Puyang Awak (Nurqadin) mencari tanah untuk anak cucu keturunan Semende sebagaimana yang telah diutarakan terdahulu.

Adat Semende disesuaikan dengan ajaran islam (ilmu tauhid dan syariat islam) untuk keselamatan dunia akhirat. Jadi Adat Semende itu termasuk kebudayaan Islam. Di dalam Alquran berbunyi “ittaqullah” artinya bertaqwalah kepada Allah dengan mengerjakan yang diperintah dan meninggalkan yang dilarang. Dalam Adat Semende terdapat perintah/suruhan dan larangan tersebut, yaitu :

a. Perintah/suruhan :
1. Menganut/memeluk agama islam
2. Beradat Semende
3. Beradab Semende
4. Betungguan (membela kebenaran)

b. Larangan/pantangan jeme Semende :
1. Sesama Tunggu Tubang pantang dimadukan, mengingat tanggung jawabnya berat
2. Bejudi/jaih/nyabung
3. Enggaduh racun tuju serampu (iri hati/hasut/dengki)
4. Nganakah duit
5. Maling tulang kance
6. Nanam kapas/wanggean (Ringan timbangannye)
7. Nanam sahang (pantang garang/pemarah)

11). Mahyuddin BA bin M. Ramli Fakiruilallah guru tarekat Sammaniyah asal Paiman Sumbar
12).Dr.Hj. Srimulyati, MA (et al) Mengenal & Memahami Tarekat Muktabarak di Indonesia, hal 173 tahun 2004
c. Sifat (motivasi) jeme Semende :
1. Benafsu (rajin bekerja)
2. Bemalu (sebagian dari iman)
3. Besingkuh (berbicara dan tingkah laku tidak sembarangan)
4. Beganti (setia kawan)
5. Betungguan (tidak goyah/mantap)
6. Besundi/beadab (tata krama, tata tertib)
7. Beteku (perhatian/suka membantu)

d. Fatwa Jeme Semende
1. Pajam suare dik be dane
2. Maluan nengah dik be pakai
3. Hilang baratan ghumah mighis
4. Kasih kance timbang ghase
5. Kasih sudare sesame ade
6. Kasih bapang sebelum marah
7. Kasih endung sepanjang mase
Menurut sejarah, pada jaman penjajahan Belanda, adat istiadat Semende ini dibuatkan pelakat/piagam yang disimpan di Museum Betawi (Jakarta) dan dijadikan pedoman Belanda untuk memberikan pertimbangan dan memutuskan suatu perkara yang terjadi di Semende.13)

2. Pengertian Semende
Semende terdiri dari dua suku kata yaitu Seme dan Ende dengan pengertian SEME = sama dan Ende = Harga. Semende = Sama Harga menurut logat Semende same rege yaitu betine (perempuan) tidak membeli dan bujang (lelaki) tidak dibeli. Pengertian Semende diartikan hubungan perkawinan (semende) bahwa laki-laki datang tidak dijual dan perempuan menunggu tidak membeli.
Semende menjadi Adat Semende disebut Tunggu Tubang yang penjabarannya dimulai berdasarkan :
1. Harta Pusake tinggi
2. Harte Pusake Rendah

Kedua-duanya tidak boleh di bagi dan sebagai penunggu ditunjuk anak perempuan tertua, jika tidak ada anak perempuan, maka anak laki-laki tertua sebagai tunggu tubangnya (anak belai). Harta Pusaka Tinggi yang telah turun temurun (bejulat) kepada anak cucu, cicit (piut) dan seterusnya sebagai ahli waris mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut :
1. Sama waris, Sama harga
2. Sama menjaganya
3. Perempuan (Tunggu Tubang) hanya menuggu tidak kuasa menjual
4. Laki-laki berkuasa, tapi tidak menuggu

13).Sumber, H. Tjikdeham mantan Kepala SD di Semende
5. Sama-sama mengambil faedah baik laki-laki atau perempuan rumusannya :
1. Perempuan dibela, laki-laki membela.
2. Sama-sama mengambil manfaat, yaitu perempuan disayang dan laki-laki disekolahkan tinggi, belajar mengaji sampai ke Makkah (Naun) dan sebagainya.
3. Sama-sama mengambil untung, perempuan lekas kawin (semende) sehingga orang tua berkesempatan mencari biaya untuk sekolah anak laki-laki, mengaji dan biaya kawin (semende).
4. Sama-sama mengharapkan hasil, perempuan lekas berkeluarga (semende) sehingga berkembang (berketurunan) dan laki-laki diantar kawin (semende) ke tunggu tubang lain.

Pemelihara harta warisan adalah ahli waris laki-laki dengan tugas mengawasi harta seluruhnya supaya tidak rusak, tidak berkurang, tidak hilang, dan sebagainya. Lelaki tidak berhak menuggu, dia seorang laki-laki seakan-akan Raja berkuasa memerintah dan diberi gelar dengan sebutan MERAJE.

Anak belai adalah keturunan anak betine (Kelawai Meraje) mengingat kelemahannya dan sifat perempuan (keibuan) maka ia dikasihi/disayangi dan ditugaskan menunggu harta pusaka sebagai tunggu tubang, mengerjakan, memelihara, memperbaiki harta pusaka dan ia boleh mengambil hasil (sawah, kolam, tebat, kebun/ghepangan) tetapi tidak kuasa menjual harta waris.

Seorang laki-laki di Semende berkedudukan sebagai MERAJE di rumah suku ibunya (kelawainye) dan menjadi rakyat di rumah isterinya sehingga dia meraje dan juga rakyat. Kalau warga Tuggu Tubang (Adat Semende) telah turun temurun berjulat berjunjang tinggi, maka tingkat pemerintah (Jajaran Meraje) tersusun sebagai berikut :

Jumat, November 16, 2018

Memahami Macam-macam Takdir

4 Macam Takdir

Para ulama menjelaskan ada empat macam takdir, yaitu:
1) Takdir Azali
2) Takdir ‘umri
3) Takdir Sanawi
4) Takdir Yaumi.
Berikut penjelasannya:

1) Takdir Azali

Yaitu takdir yang ditulis dalam lauhil mahfudz 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Takdir azali ini adalah takdir yang merupakan takdir utama yang pasti terjadi bagi semua mahkluk.


Allah berfirman,
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”. (Al-Hajj/22 : 70)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ، قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ، بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، قَالَ: وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
“Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. “Beliau bersabda, “Dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air.” (HR. Muslim)

2) Takdir ‘umri

Yaitu takdir yang ditulis malaikat ketika meniupkan roh ke dalam janin.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُوْنُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ فِيْ ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ، فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama mpat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti itu pula (empat puluh hari), kemudian menjadi segumpal daging seperti itu pula, kemudian Dia mengutus seorang Malaikat untuk meniupkan ruh padanya, dan diperintahkan (untuk menulis) dengan empat kalimat: untuk menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagia(nya).” (HR. Bukhari Muslim)


3) Takdir Sanawi

Takdir yang berlaku tahunan dan ditulis kejadian setahun ke depan setiap malam lailatul qadar.
Allah berfirman,
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [Ad-Dukhaan/44 : 4]
Allah juga berfirman,
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Pada malam itu turun para Malaikat dan juga Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadr/97 : 4-5]

4) Takdir Yaumi

Yaitu takdir yang berlaku harian.
Allah Ta’ala berfirman,
كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
“Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” [Ar-Rahmaan/55 : 29]
Perlu diperhatikan bahwa di antara empat takdir ini, takdir utamanya adalah takdir azali yang tertulis di lauhil mahfudz, sedangkan tiga takdir yang lainnya (‘umri, sanawi, dan yaumi) adalah takdir yang bisa merubah. Perhatikan kalimat berikut:
“Perubahan takdir (‘umri, sanawi dan yaumi) ini tertulis dalam takdir azali di lauhil mahfudz.”
Contohnya: bisa saja dalam takdir ‘umri tertulis dia seorang yang celaka, tetapi karena dia bersungguh-sungguh mencari hidayah, maka ia menjadi orang yang beruntung. Perubahan takdir ‘umri ini tertulis dalam lauhil mahfudz.


Ini juga yang dimaksud dengan “takdir bisa dirubah dengan doa”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻻ ﻳﺮﺩ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﺇﻻ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ
“Tidaklah merubah suatu takdir melainkan doa.” [HR. Al Hakim, hasan]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa takdir yang berubah tersebut berkaitan dengan doa, beliau berkata:
الدعاء من أسباب رد القدر المعلق ، والقدر يكون معلقا ويكون مبتوتا ، فإذا كان قدرا معلقا
“Doa termasuk sebab merubah takdir yang mu’allaq (bergantung pada sebabnya). Takdir itu ada yang mu’allaq dan ada yg telah tetap, sama sekali tidak berubah.” [https://binbaz.org.sa/old/38112]
Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa perubahan takdir dan doa tersebut juga tertulis dalam takdir azali lauhil mahfudz. Beliau berkata:
لكنه في الحقيقة لا يرد القضاء؛ لأن الأصل أن الدعاء مكتوب وأن الشفاء سيكون بهذا الدعاء، هذا هو القدر الأصلي الذي كتب في الأزل
“Pada hakikatnya takdir (azali) tidak berubah, karena doa tersebut sudah tertulis (dilauhil mahfudz) bahwa kesembuhan karena adanya doa, inilah takdir asli yang tertulis dalam takdir azali.” [Majmu’ Fatawa wa Rasail 2/93]

Sumber:
https://muslim.or.id/43701-memahami-macam-macam-takdir.html

Fatwa Ulama: Perayaan Maulid Nabi Adalah Masalah Khilafiyah?

Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr
Soal :
Apakah merayakan maulid Nabi termasuk masalah khilafiyah (yang diperselisihkan) di antara para ulama?
Jawab :
Tidak ada dalil yang menyatakan boleh merayakan kelahiran Nabi –shallallahu’alaihi wa sallam– . Karena selama tiga abad pertama hijriyah (masa keemasan Islam) tidak ditemukan perayaan ini. Perayaan ini muncul setelah masa itu. Maka ini menunjukkan perayaan ini termasuk perkara baru dalam Islam. Tidak ada sahabat, tabi’in, tabiuttabi’in yang merayakannya. Ini bukti bahwa perkara ini adalah perkara yang baru dalam agama. Seandainya boleh tentu sudah dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, para Khulafaur rasyidin, sahabat, tabi’in dan tabiuttabi’in. Akan tetapi hal ini tidak didapati pada masa tiga generasi pertama. Ini perkara baru.
Barangkali ada yang beralasan dengan perbuatan orang-orang Nasrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa dan kaum muslimin tentu lebih berhak untuk merayakannya, ini dalil tidak benar. Yang diperbincangkan adalah selama tiga generasi pertama Islam, tidak didapati perayaan maulid Nabi. Ini menunjukkan bahwa hal ini menyelisihi prinsip mereka yang hidup di tiga abad pertama masa keemasan. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
خير النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku ( para sahabat) kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya (tabiu’t tabi’in)” (HR.. Bukhari & Muslim).
Tidak semua perbedaan pendapat para ulama itu bisa diambil (khilaf mu’tabar), dan tidak setiap pendapat memiliki dalil yang kuat. Mereka yang membolehkan perayaan maulid Nabi berdalil dengan perbuatan kaum Nasrani. Mereka menyatakan bahwa kaum Nashrani merayakan kelahiran Nabi Isa karena mereka cinta, mengapa kita tidak merayakan kelahiran Nabi kita karena cinta kepada beliau? Namun nyatanya para khulafaur rasyidin tidak merayakan, para sahabat tidak merayakan, para tabi’in dan tabiut tabi’in juga tidak merayakan. Maka ini adalah termasuk perkara baru dalam agama, yang tidak ditemui di tiga generasi pertama. Perayaan ini baru muncul pada abad ke 4 hijriyah.
(Selesai, terhenti oleh iqomah sholat Isya).
Fatwa ini beliau sampaikan pada sesi tanya jawab kajian Shahih Bukhori, pada 10 Rabiulawwal 1438 H, di masjid Nabawi.
Anda bisa menyimaknya di sini :
https://drive.google.com/file/d/0Bx_gQF8gz7hoWHEzQld6S0xKMlk/view?usp=docslist_api
  
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/29081-fatwa-ulama-perayaan-maulid-nabi-adalah-masalah-khilafiyah.html

Minggu, November 11, 2018

LAKNAT PARA MALAIKAT BAGI SEORANG ISTRI YANG MENOLAK AJAKAN SUAMINYA UNTUK BERJIMA’

LAKNAT PARA MALAIKAT BAGI SEORANG ISTRI YANG MENOLAK AJAKAN SUAMINYA  UNTUK BERJIMA’

 Oleh
Syaikh Dr Fadhl Ilahi


Dan di antara orang yang dilaknat oleh para Malaikat adalah seorang istri yang menolak ajakan suaminya untuk berjima’. Di antara dalil yang menunjukan hal tersebut adalah:
Pertama: Asy-Syaikhain meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ. 
Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas      ranjangnya[1], tetapi ia tidak mematuhinya, maka para Malaikat akan melaknatnya sampai pagi.”[2]
Kedua: Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah pula Radhiyallahu anhu, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.
Jika seorang wanita tidur dengan meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para Malaikat melaknatnya sampai pagi.”[3]
Dan di dalam riwayat yang lain:
حَتَّى تَرْجِعَ.
Sehingga si istri itu kembali.[4]
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam menjelaskan hadits ini berkata, “Ini adalah sebuah dalil yang menunjukkan haram bagi seorang istri menolak ajakan suaminya ke atas ranjang (untuk berjima’) jika tidak ada alasan secara syara, dan haidh pun bukanlah alasan untuk menolaknya, karena sang suami dalam keadaan seperti ini dapat beristimta(menikmatinya) dengan sesuatu yang di atas kain penutup bagian bawah dari badan.[5]
Di antara faidah yang terkandung di dalam kedua hadits ini adalah:
  1. Sesungguhnya laknat –sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi– berlangsung sampai kemaksiatan itu hilang dengan terbit fajar dan rasa tidak membutuhkan dari pihak suami, atau dengan taubat dan kembalinya sang istri dengan memenuhi keinginan sang suami.[6]
  2. Al-Imam Abu Hamzah mengungkapkan faidah lain dari hadits ini, beliau rahimahullah berkata, “Di dalamnya ada sebuah dalil bahwa do‘a Malaikat, yang baik atau yang buruk adalah sebuah do‘a yang diterima, karena di dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mengancam dengan hal tersebut.”[7]
Ada hadits lain lagi yang menunjukkan sikap seperti ini, di antaranya adalah:
Pertama: Al-Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
ثَلاَثٌ لاَ تُقْبَلُ لَهُمْ صَلاَةٌ، وَلاَ تُصْعَدُ لَهُمْ إِلَى اللهِ حَسَنَةٌ: السَّكْرَانُ حَتَّى يُصْحَى، وَالْمَرْأَةُ السَّاخِطُ عَلَيْهَا زَوْجُهَا، وَالْعَبْدُ اْلآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ فَيَضَعُ يَدَهُ فِي يَدِ مَوَالِيْهِ.
Ada tiga orang yang shalatnya tidak akan diterima, dan kebaikan mereka tidak akan naik kepada Allah, (1) orang yang mabuk sehingga dia sadar, (2) seorang wanita yang dibenci oleh suaminya, dan (3) seorang hamba sahaya yang lari sehingga dia kembali dan meletakkan tangannya di tangan tuannya.”[8]
KeduaAl-Imam ath-Thabrani meriwayatkan juga dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
اِثْنَانِ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا: عَبْدٌ آبِقٌ مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْهِمْ، وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ.
“Ada dua orang yang shalat mereka tidak pernah melewati kepala mereka: (1) seorang hamba sahaya yang lari dari tuan-tuannya sehingga ia kembali kepada mereka, dan (2) seorang wanita yang berbuat maksiat kepada suaminya sehingga ia kembali.”[9]
Perhatian!
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan masalah ini:
Pertama, penetapan hukum haram bagi istri yang menolak keinginan suami ke atas ranjang (untuk berjima’) disyaratkan dengan tidak ada alasan secara syar’i, hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi[10] karena itu seorang suami harus selalu memperhatikan keadaan sang istri ketika ia memintanya. Syaikhul Islam berkata, “Seorang suami berhak untuk bersenang-senang dengan sang istri kapan saja, selama hal itu tidak memberikan dampak negatif kepadanya atau menyibukkannya dari sesuatu yang lebih wajib, jika semua itu tidak ada, maka seorang istri harus memenuhinya.”[11]
Kedua, sesungguhnya penetapan hukum yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dengan pengharaman sikap seorang istri yang menolak ajakan sang suami adalah sebuah tatanan yang membantu terwujudnya makna dari sebuah hubungan suami istri, dengan harapan agar seorang suami lebih dapat menundukkan pan-dangan, juga menjaga kemaluan.[12]
[Disalin dari kitab “Man Tushalli ‘alaihimul Malaaikah wa Man Tal‘anuhum.” Edisi Bahasa Indonesia Orang-Orang yang Dilaknat Malaikat.” Penulis oleh Dr. Fadhl Ilahi, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]  Al-Imam Ibnu Abi Hamzah berkata, “Yang nampak dari hadits tersebut bahwa ajakan di sini adalah ajakan untuk jima’.” (Fat-hul Baari IX/294)
[2]  Muttafaq ‘alaihShahiih al-Bukhari, kitab an-Nikaah, bab Idza Baatat al-Mar-ah Muhaajirah firaasy Zaujiha (no. 5193), dengan redaksi hadits beliau. Juga dalam Shahiih Muslim kitab an-Nikaah bab Tahrim Imtinaa-iha min Firaasyi Zaujiha (no. 122 (1436)).
[3] Muttafaq ‘alaihiShahiih al-Bukhari kitab an-Nikah bab Idza Baatat al-Mar-ah Muhaajirah Firaasy Zaujiha (no. 5194) dan Sha-hiih Muslim kitab an-Nikaah bab Tahriim Imtinaa-iha min Fi-raasyi Zaujiha (II/1059 no. 120 (1436)), dengan lafazh miliknya.
[4]  Ibid.
[5] Syarah an-Nawawi (X/7-8).
[6]  Ibid.
[7]  Dinukil dari kitab Fat-hul Baari (X/8).
[8]  Dinukil dari kitab Majma’uz Zawaa-id wa Manbaul Fawaa-id kitab an-Nikaah bab Haqqul Zauj ‘alal Mar-ah (IV/313). Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan di dalamnya ada Muhammad bin Uqail, haditsnya hasan, di dalamnya ada kelemahan, sedangkan yang lainnya tsiqah.”
[9]  Majma’uz  Zawaa-id wa Manba-ul Fawaa-id. Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Tha-brani di dalam kitab ash-Shagir dan al-Ausath dengan perawi yang tsiqah.
[10] Lihat pembahasan halaman 73.
[11]  As-Siyaasah asy-Syar’iyyah fii Ishlaahir Raa‘i war Raa‘iyyah (hal. 163).
12] Untuk lebih jelas lagi baca kitab at-Tadaabirul Waaqi’iyyah minal Zina fil Fiqhil Islam (hal. 145-146).
Sumber:
http://www.almanhaj.or.id

Potret Kesederhanaan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

Potret Kesederhanaan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

sumber: 
http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/

 

Gelas pecah ditambal oleh Nabi

Anas bin Malik radhiallahu’anhu mengatakan:
أنَّ قَدَحَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ انكسرَ ، فاتخذَ مكان الشَّعْبِ سلسلةً من فضةٍ
Gelas Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pecah. Kemudian beliau menambal bagian pangkal gagangnya dengan perak” (HR. Bukhari no. 3109).
Sebagian kita mungkin memiliki gelas-gelas yang cantik dan menarik. Ketika retak, atau pecah, maka biasanya tak lagi berselera untuk memakainya dan akan berpikir untuk menggantinya dengan yang baru. Namun ternyata tidak dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, gelas yang pecah ditambal boleh beliau. Betapa sederhananya.

Sederhananya cara berpakaian Nabi

Dalam suatu hadits Bukhari-Muslim, diceritakan tentang seorang Arab Badwi (daerah gurun/desa pinggiran) yang mengajukan beberapa pertanyaan penting dan mendasar kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ketika beliau sedang berkumpul bersama para sahabatnya di masjid.
Baca Juga: Kisah Perginya Rasulullah Ke Syam Bersama Abu Thalib
Namun yang menarik, perhatikan bagaimana ketika orang Badwi ini masuk ke masjid. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:
بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَصْحَابِهِ جَاءَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ فَقَالَ: أَيُّكُمُ ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ؟
“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sedang bersama para sahabatnya, datanglah seorang lelaki Badwi lalu bertanya: ‘siapakah diantara kalian yang merupakan cucu Abdul Muthalib?’”
Dalam riwayat lain:
بينما نحن جلوسٌ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم في المسجدِ، دخل رجلٌ على جَمَلٍ، فأناخه في المسجدِ ثم عَقَلَهُ، ثم قال لهم : أَيُّكم مُحَمَّدٌ ؟
“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sedang bersama para sahabatnya, datanglah seorang lelaki sambil menunggang unta, lalu ia meminggirkan untanya di masjid kemudian mengikatnya. Ia bertanya: ‘siapakah diantara kalian yang bernama Muhammad?” (HR. Bukhari no. 63, Muslim no. 12).
Jadi lelaki Badwi ini hendak mencari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, seorang Rasul, namun dia melihat tidak ada orang penampilannya mencolok atau beda sendiri. Sehingga dia perlu untuk bertanya. Ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berbusana dan berpenampilan sebagaimana para sahabat, tidak beda sendiri, tidak mencolok perhatian, walaupun beliau seorang yang paling mulia di antara mereka.

Nabi meminta rezeki sekedar yang memenuhi kebutuhan pokok

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam meminta rezeki kepada Allah bagi keluarganya sekedar makanan yang pas memenuhi kebutuhan pokok, bukan harta yang berlimpah ruah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا
Ya Allah, jadikan rezeki keluarga Muhammad berupa makanan yang secukupnya” (HR. Muslim, no. 1055).
Beliau juga menegaskan bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan pokok seseorang di hari ia bangun dari tidurnya, itu sudah kenikmatan yang luar biasa. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَن أصبحَ مِنكُم آمِنًا في سِرْبِه ، مُعافًى في جسَدِهِ ، عندَهُ قُوتُ يَومِه ، فَكأنَّمَا حِيزَتْ له الدُّنْيا
Barangsiapa bangun di pagi hari dalam keadaan merasakan aman pada dirinya, sehat badannya, dan ia memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah seluruhnya dunia dikuasakan kepadanya” (HR. Tirmidzi no.2346, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, no. 2318).
Sebagian kita memiliki persediaan makanan bahkan tidak hanya untuk hari ini, bahkan beberapa hari ke depan, atau bahkan sampai berbulan-bulan ke depan. Belum lagi harta dalam bentuk lain yang bisa ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan juga kebutuhan tersier (tambahan). Namun ternyata tidak demikian dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, justru rezeki beliau sebatas kebutuhan pokok saja.
Baca juga : Benarkah Rasulullah Melarang Ali bin Abi Thalib Poligami?

Nabi tidak pernah mendapati banyak makanan dalam kesehariannya

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan keluarga tidak mendapati makanan yang melimpah dalam kesehariannya. Namun hanya sekedar tidak kelaparan dan terpenuhinya kebutuhan pokok, sebagaimana dalam hadits-hadits yang sebelumnya.
Dari Malik bin Dinar radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:
مَا شَبِعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُبْزٍ قَطُّ وَلاَ لَحْمٍ إِلاَّ عَلَى ضَفَفٍ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti atau kenyang karena makan daging, kecuali jika sedang menjamu tamu (maka beliau makan sampai kenyang)” (HR. Tirmidzi dalam Asy Syamail no. 70, dishahihkan Al Albani dalam Mukhtashar Asy-Syama’il Al-Muhammadiyah no. 109).
Biasanya sekali dalam dua atau tiga hari beliau dan keluarga baru merasakan kenyang. Itu pun sekedar makan roti gandum, makanan yang sangat sederhana. Aisyah radhiallahu’anha mengatakan:
ما شبِعَ آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من خُبزِ بُرٍّ مَأدومٍ ثلاثةَ أيامٍ حتى لحِقَ باللهِ
“Keluarga Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai ia bertemu dengan Allah (wafat)” (HR. Bukhari no. 5423, Muslim no. 2970).
Dalam riwayat lain:
ما شبع آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ من خبزِ شعيرٍ ، يومَين مُتتابِعَينِ ، حتى قُبِضَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ
“Keluarga Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum dalam dua hari, sampai beliau wafat” (HR. Bukhari no. 6454, Muslim no. 2970).
Sebagian kita setiap hari merasakan kenyang bahkan tidak hanya sekali, namun berkali-kali dalam satu hari. Karena melimpahnya makanan yang kita dapati. Namun sangat sederhananya kehidupan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sampai-sampai hanya merasakan kenyang hanya sekali dalam dua hari atau tiga hari.

Terkadang keluarga Nabi tidak mendapati makanan di suatu hari

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan:
قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟ قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء قال فإني صائمٌ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini?)’. Aku menjawab: ‘wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatupun (untuk dimakan)’. Beliau lalu bersabda: ‘kalau begitu aku akan puasa’” (HR. Muslim no. 1154).
Dari Nu’man bin Basyir radhiallahu’anhu, beliau berkata kepada para sahabat yang lain:
ألستُم في طعامٍ وشرابٍ ما شئتُم ؟ لقد رأيتُ نبيَّكم صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وما يجِدُ من الدَّقَلِ ، ما يملأُ به بطنَه
Bukankah kalian bisa makan dan minum semau kalian? Sungguh aku melihat Nabi kalian Shallallahu’alaihi Wasallam tidak memiliki daql (kurma yang sudah kurang bagus) sama sekali. Dan tidak ada makanan yang bisa memenuhi perutnya” (HR. Muslim no. 2977).
Ternyata Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak selalu memiliki makanan setiap harinya, bahkan makanan yang sederhana sekalipun. Tidak sebagaimana kebanyakan kita yang –walhamdulillah– masih bisa mendapati makanan setiap hari bahkan hingga mengenyangkan perut kita.
Baca Juga: Inilah Kisah-Kisah Unik Sarat Faidah
Istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Ummul Mukminin Aisyah radhiallallahu’anha juga mengatakan:
كان يأتي علينا الشهرُ ما نوقِدُ فيه نارًا، إنما هو التمرُ والماءُ، إلا أن نؤتى باللُّحَيمِ
Pernah kami melalui suatu bulan yang ketika itu kami tidak menyalakan api sekali pun. Yang kami miliki hanya kurma dan air. Kecuali ada yang memberi kami hadiah berupa potongan daging kecil untuk dimakan” (HR. Bukhari no. 6458, Muslim no. 2282).

Sederhananya sandal Nabi

Sandal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bukanlah sandal para raja dan kaisar. Namun sekedar sandal jepit biasa yang terbuat dari kulit. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:
أنَّ نعلَي النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ كان لهما قِبالانِ
Sandal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memiliki dua tali ikatan” (HR. Bukhari no. 5857).
Dalam riwayat lain:
أخرج إلينا أنسٌ نعلينِ جرداويْنِ لهما قِبَالانِ . فحدَّثني ثابتُ البنانيُّ بعدُ عن أنسٍ : أنَّهما نعلا النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ
Suatu hari Anas bin Malik keluar rumah menemui kami, ia memakai sandal kulit yang tidak berbulu dan terdapat dua tali ikatan. Tsabit Al Bunani menuturkan kepadaku, dari Anas bin Malik, beliau berkata: dua sandal tersebut adalah milik Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Bukhari no. 3170).

Sederhananya tempat tidur Nabi

Tempat tidur yang digunakan Nabi Shallallahu’alahi Wasallam sangat sederhana, terbuat dari kulit yang diisi oleh sabut atau dedaunan. Dari Aisyah radhiallahu’anha:
كان فِراشُ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من أدَمٍ، وحَشوُه من لِيفٍ
Tempat tidur Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dari kulit yang diisi dengan sabut” (HR. Bukhari no. 6456, Muslim no. 2082).
Dan terkadang beliau juga tidur di atas tikar yang terbuat dari dedaunan, sehingga berbekas di kulit beliau jika tidur di atasnya. Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma:
دَخلَ عمرُ بنُ الخطَّابِ رضيَ اللَّهُ عنهُ علَى النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ وَهوَ علَى حَصيرٍ قد أثَّرَ في جنبِهِ فقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، لوِ اتَّخذتَ فِراشًا أَوثرَ مِن هذا فقالَ: ما لي ولِلدُّنيا وما لِلدُّنيا وما لي، والَّذي نَفسي بيدِهِ ما مَثَلي ومَثَلُ الدُّنيا إلَّا كَراكبٍ سارَ في يَومٍ صائفٍ فاستَظلَّ تحتَ شَجرةٍ ساعةً من نَهارٍ ثمَّ راحَ وترَكَها
“Umar bin Khattab datang ketika beliau sedang tidur di atas tikar yang membuat bekas pada kulit beliau di bagian sisi. Sontak Umar pun berkata: “Wahai Nabi Allah! Andaikan engkau menggunakan permadani tentu lebih baik dari tikar ini”. Maka beliau pun bersabda: “Apa urusanku terhadap dunia? Permisalan antara aku dengan dunia bagaikan seorang yang berkendaraan menempuh perjalanan di siang hari yang panas terik, lalu ia mencari teduhnya di bawah pohon beberapa saat di siang hari, kemudian ia istirahat di sana lalu meninggalkannya” (HR. At Tirmidzi 2/60, Al Hakim 4/310, Ibnu Majah 2/526. dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1/800).

Sederhananya rumah Nabi

Rumah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat sederhana. Sehingga jika istri beliau, Aisyah radhiallahu ta’ala an’ha, tidur di sana maka sebagian tubuhnya menghalangi Nabi yang sedang shalat. Dari Aisyah radhiyallahu anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ia berkata,
كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا
“Aku tidur di depan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang shalat-pen), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku” (HR. Bukhari no. 382, Muslim no. 512).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata,
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِيْ عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ
“Suatu malam aku kehilangan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur, kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud” (HR. Muslim no. 486).
Baca Juga: Kisah Menakjubkan Ummu Sulaim Saat Ditinggal Mati Anaknya

Nabi tidak meninggalkan warisan berupa harta

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak meninggalkan warisan harta bagi keluarganya. Dari Aisyah radhiallahu’anha, ia mengatakan:
ما ترك رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ دينارًا ، ولا درهمًا ، ولا شاةً ، ولا بعيرًا ، ولا أوصى بشيءٍ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak meninggalkan dinar, dirham, kambing atau unta. Dan tidak memberikan wasiat harta kepada siapapun” (HR. Muslim no. 1256).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri bersabda:
إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Namun mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa menuntut ilmu ia telah mengambil warisan para Nabi dengan jumlah banyak”
Dari Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:
أن فاطمةَ والعباسَ عليهما السلامُ، أتيا أبا بكرٍ يلتمسان ميراثُهما من رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وهما حينئذٍ يطلبان أرضيهما من فدَكَ، وسهمهما من خيبرَ، فقال لهما أبو بكرٍ: سمعتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقولُ: لا نُورثُ، ما تركنا صدقةٌ، إنما يأكلُ آلُ محمدٍ من هذا المالِ
“Fathimah dan Al Abbas ‘alaihimassalam datang kepada Abu Bakar (sepeninggal Nabi). Kemudian keduanya menanyakan mengenai jatah warisan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu sebidang tanah di Fadak dan juga di Khaibar. Maka Abu Bakar berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “aku tidak mewariskan harta, apa yang aku tinggalkan itu untuk sedekah”. Namun keluarga Muhammad makan dari harta ini (ketika Nabi masih hidup)” (HR. Bukhari no. 6725, Muslim no. 1379).
Demikianlah sekelumit kehidupan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang sangat sederhana. Karena akhirat adalah tujuan beliau, bukan dunia. Maka beliau tidak ada keinginan untuk memperbanyak dunia dan bermewah-mewah di dalamnya. Sebagaimana dalam hadits Umar di atas, beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ما لي ولِلدُّنيا وما لِلدُّنيا وما لي، والَّذي نَفسي بيدِهِ ما مَثَلي ومَثَلُ الدُّنيا إلَّا كَراكبٍ سارَ في يَومٍ صائفٍ فاستَظلَّ تحتَ شَجرةٍ ساعةً من نَهارٍ ثمَّ راحَ وترَكَه
“Apa urusanku terhadap dunia? Permisalan antara aku dengan dunia bagaikan seorang yang berkendaraan menempuh perjalanan di siang hari yang panas terik, lalu ia mencari teduhnya di bawah pohon beberapa saat di siang hari, kemudian ia istirahat di sana lalu meninggalkannya” (HR. At Tirmidzi 2/60, Al Hakim 4/310, Ibnu Majah 2/526. dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1/800).
Washallallahu’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in
Baca Juga:
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel:Muslim.or.id

Minggu, November 04, 2018

Kamis, Mei 17, 2018

Kajian Ramadhan 2: Puasa untuk Meraih Takwa

Kajian Ramadhan 2: Puasa untuk Meraih Takwa

Sungguh, di bulan Ramadhan banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik. Pelajaran tersebut sulit didapati titik ujungnya. Pelajaran yang bisa kita ambil yang paling besar adalah pelajaran takwa. Bahkan setiap amalan yang ada di bulan Ramadhan bertujuan untuk meraih takwa.
Ketahuilah bahwa takwa adalah sebaik-baiknya bekal. Takwa adalah sebaik-baik pakaian yang dikenakan seorang muslim. Takwa inilah yang jadi wasiat orang terdahulu dan belakangan. Takwa itulah jalan keluar ketika seseorang berada dalam kesulitan. Takwa itulah sebab mendapatkan pertolongan ketika mati. Takwa itulah jalan menuju ketenangan.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Intinya, takwa adalah wasiat Allah pada seluruh makhluk-Nya. Takwa pun menjadi wasiat Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam– kepada umatnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan, beliau pun menasehati mereka untuk bertakwa. Itu semua bertujuan supaya dengan takwa manusia meraih kebaikan.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 404).
Lalu apa yang dimaksud takwa? Takwa sebagaimana kata Tholq bin Habib rahimahullah,

التَّقْوَى : أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَرْجُو رَحْمَةَ اللَّهِ وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَخَافَ عَذَابَ
  اللَّهِ

“Takwa adalah engkau melakukan ketaatan pada Allah atas petunjuk dari Allah dan mengharap rahmat Allah. Takwa juga adalah engkau meninggalkan maksiat yang Allah haramkan atas petunjuk dari-Nya dan atas dasar takut pada-Nya.” (Lihat Majmu’atul Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 163 dan Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam karya Ibnu Rajab Al Hambali, 1: 400).
Kata Ibnu Rajab Al Hambali,

وأصلُ التقوى : أنْ يعلم العبدُ ما يُتَّقى ثم يتقي.

“Takwa asalnya adalah seseorang mengetahui apa yang mesti ia hindari lalu ia tinggalkan.”
‘Aun bin ‘Abdillah berkata,

تمامُ التقوى أنْ تبتغي علمَ ما لم يُعلم منها إلى ما عُلِمَ منها

“Takwa yang sebenarnya adalah jika seseorang ingin tahu sesuatu yang tidak ia ketahui hingga ia pun akhirnya jadi tahu.”
Ma’ruf Al Karkhi berkata, dari Bakr bin Khunais, ia berkata,

كيف يكون متقياً من لا يدري ما يَتَّقي ؟

“Bagaimana seseorang bisa dikatakan bertakwa sedangkan ia tidak mengetahui apa yang mesti dijauhi?”
Lalu Ma’ruf kemudian berkata,

إذا كنتَ لا تُحسنُ تتقي أكلتَ الربا ، وإذا كنتَ لا تُحسنُ تتقي لقيتكَ امرأةٌ فلم تَغُضَّ بصرك

“Jika engkau tidak baik dalam takwa, maka pasti engkau akan terjerumus dalam memakan riba. Kalau engkau tidak hati-hati dalam takwa, maka pasti engkau akan memandang seorang wanita lantas pandanganmu tidak kau tundukkan.” (Lihat Jaami’ ‘Ulum wal Hikam, 1: 402).
Ramadhan pun disebut oleh para ulama dengan bulan takwa. Sifat takwa inilah yang nanti akan diraih dari amalan puasa. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan pada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menyebutkan,
“Allah Ta’ala menyebutkan dalam ayat di atas mengenai hikmah disyari’atkan puasa yaitu agar kita bertakwa. Karena dalam puasa, kita mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Yang meliputi takwa dalam puasa adalah seorang muslim meninggalkan apa yang Allah haramkan saat itu yaitu makan, minum, hubungan intim sesama pasangan dan semacamnya. Padahal jiwa begitu terdorong untuk menikmatinya. Namun semua itu ditinggalkan karena ingin mendekatkan diri pada Allah dan mengharap pahala dari-Nya. Inilah yang disebut takwa.
Begitu pula orang yang berpuasa melatih dirinya untuk semakin dekat pada Allah. Ia mengekang hawa nafsunya padahal ia bisa saja menikmati berbagai macam kenikmatan. Ia tinggalkan itu semua karena ia tahu bahwa Allah selalu mengawasinya.
Begitu pula puasa semakin mengekang jalannya setan dalam saluran darah. Karena setan itu merasuki manusia pada saluran darahnya. Ketika puasa, saluran setan tersebut menyempit. Maksiatnya pun akhirnya berkurang.
Orang yang berpuasa pun semakin giat melakukan ketaatan, itulah umumnya yang terjadi. Ketaatan itu termasuk takwa.
Begitu pula ketika puasa, orang yang kaya akan merasakan lapar sebagaimana yang dirasakan fakir miskin. Ini pun bagian dari takwa.” Demikian perkataan Syaikh As Sa’di dalam Taisir Al Karimir Rahman, hal. 86.
Moga puasa kita semakin mendekatkan kita pada sifat takwa. Hanya Allah yang memberikan kemudahan dan taufik.
Referensi:
  • Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, tahqiq: Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Yajus, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kesepuluh, tahun 1432 H.
  • Romadhon Durusun wa ‘Ibarun – Tarbiyatun wa Usrorun, Dr. Muhammad bin Ibrahim Al Hamad, terbitan Dar Ibnu Khuzaimah, cetakan kedua, tahun 1424 H.
  • Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Mannan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.
Pagi hari, 2 Ramadhan 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta
Artikel Muslim.Or.Id

 Sumber: https://muslim.or.id/17264-kajian-ramadhan-2-puasa-untuk-meraih-takwa.html




Assalamu'alaikum. Wr.Wb.

Waktu akan dipertanggungjawabkan

Frofilku

Foto saya
Palembang, Indonesia
MOTTO: "Hidup Adalah Perjuangan"

Total Tayangan Halaman

Entri Populer